SBY dan Presiden Papua Nugini
Moresby - Papua Nugini, negeri tetangga yang berbatasan langsung dengan Papua terus mengejar ketertinggalan. Namun di tengah upaya untuk mensejajarkan diri dengan negara lain, kesederhanaan tetap tampak di negara bekas jajahan Australia ini.
Kesan sederhana tampak pertama kali saat kita mendarat di Bandara International Jackson Port Moresby. Bandara internasional satu-satunya milik Papua Nugini ini tak ubahnya seperti bandara di kawasan Timur Indonesia semisal Bandara di Ternate, Maluku.
Sepanjang jalan di negeri yang berpenduduk kurang dari 2 juta ini, berjajar rumah-rumah sederhana yang berbentuk panggung dengan bahan baku utama kayu dan seng. Jalan utama kota Port Moresby, Ibukota Papua Nugini juga tak semulus jalan di kota Kabupaten Banyuwangi di Indonesia, misalnya. Jika jalanan di kota besar berwarna hitam mengkilat, maka di Port Moresby berwarna abu-abu keputihan.
Saat upacara penyambutan di bandara, didengarkan dentuman suara meriam tanda kehormatan kepada SBY. dan ternyata, meriam itu adalah pinjaman dari Indonesia. Tak cuma itu, metal detector yang dipakai di Crown Plaza Hotel dalam setiap acara SBY, juga dipinjamkan langsung dari Indonesia. Ada wacana, kedua alat itu akan disumbangkan ke Papua Nugini.
Saat Presiden SBY dan rombongan dari Indonesia lewat, warga di sepanjang jalan tampak girang melambaikan tangan, tak peduli tua muda atau pun anak-anak. Tak sedikit dari mereka yang tidak memakai alas kaki.
Tak banyak dijumpai bangunan pemerintahan di negeri yang cuma memiliki 1.800 tentara dan polisi ini. Sepanjang kanan kiri jalan cuma didominasi oleh rumah-rumah warga, pertokoan sederhana dan gudang-gudang. Yang unik, semua bangunan di negeri ini memiliki pagar tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Kenapa bisa seperti itu? "Di sini tingkat kriminalitasnya tinggi," kata Sutar, pegawai Konsulat Indonesia di Fenimo, Papua Nugini, Jumat (12/3/2010).
Sutar menjelaskan, tingkat pengangguran di negeri berbukit ini mencapai 60-90 persen dari total jumlah penduduk. Karena inilah, tingkat kriminalitas sangat tinggi. Hal ini diperparah dengan jumlah aparat keamanan yang setara dengan 3 batalyon saja.
Tak ada restoran mewah atau pun mal di negeri ini. Yang ada cuma toko-toko kelontong atau mini market sederhana yang menjual kebutuhan sehari-hari. Yang unik, di mini market yang detikcom sambangi, di mana-mana terdapat peringatan bahwa mini market tersebut dilengkapi dengan video CCTV dan peringatan agar warga tidak mengambil barang dagangan tanpa bayar. Ada juga peringatan untuk tidak meninggalkan barang berharga di tempat penitipan barang.
Di malam hari, jarang sekali pendatang yang keluar kamar hotel. Kondisi kota yang agak gelap karena tak banyak lampu di jalanan membuat kota ini makin rawan terjadinya kriminalitas.
Setidaknya ada 3 hotel besar di Papua Nugini, yakni Crown Plaza Hotel, Quality Hotel dan Airways Hotel. Ketiga hotel ini milik orang Australia. Para tamu hotel tersebut pun didominsi oleh orang-orang asing yang sedang bisnis tambang, gas, serta kekayaan alam Papua Nugini lainnya.
Australia mendominasi denyut nadi bisnis di Papua Nugini. Selain di bidang pariwisata dan tambang, Australia juga menancapkan bisnis di bidang teknologi. Perusahaan seluler terbesar di Papua Nugini, Digitec, adalah milik Pengusaha Australia. Dan masih banyak lagi bidang-bidang lain yang dikuasai oleh negeri kanguru.
Papua Nugini memiliki tiga bahasa utama yang digunakan untuk percakapan sehari-hari, yakni bahasa Nuigini, Inggris dan Portugis. Apa bedanya bahasa Papua Nugini dengan Papua? "Kalau kami cuma punya satu bahasa asli, sementara Papua punya banyak sekali bahasa daerah," kata salah seorang petugas Quality Hotel tempat kami menginap. Menurut karyawan hotel tersebut, bahasa Inggris banyak dikuasai oleh Masyarakat Papua Nugini. Hal ini wajar karena negara penjajahnya, Australia juga menggunakan bahasa Inggris.
Jika kita bertandang ke Papua Nugini, ada beberapa produk Indonesia yang juga diminati. Di antaranya adalah Indomie dan Aqua. Satu botol Aqua ukuran sedang, dijual seharga 6 Kina (mata uang Papua Nugini) atau sekitar Rp 18.000 (1 Kina: Rp 3.000). Harga barang-barang di negara panas bersuhu sekitar 40 derajat celsius tersebut tak jauh beda dengan di Australia, sama-sama mahal. Sedangkan nama Indomie ditambah dengan embel-embel makanan khas setempat, sehingga menjadi Indomie Karuyuk. Karuyuk adalah makanan khas Papua Nugini berbahan dasar ayam.
Negara yang merdeka tahun 1975 ini terus berbenah. Demi mengejar ketertinggalan, berbagai kerjasama dengan negara asing terus dilakukan, termasuk dengan Indonesia.
"Kami senang dengan kehadiran Presiden SBY dan rombongan ke negeri kami. Kami pastikan, kerjasama dengan Indonesia tak cuma dalam bidang pertanian saja, melainkan Industri, pertahanan dan lain sebagainya," kata PM Michael Somare saat jumpa pers usai menggelar pertemuan bilateral dengan SBY.
Sumbre : Detik