HUJAN METEOR PERSEID


Hujan meteor umumnya terjadi apabila bumi melintas dekat orbit sebuah komet dan melalui serpihannya. Benda-benda langit tersebut mempunyai bentuk padat dan ukuran yang tidak besar dan melayang melalui cakrawala.

Material meteor pada umumnya hanya sebesar butiran pasir dan hampir semuanya hancur sebelum mencapai permukaan bumi namun secara khusus pada beberapa tempat ditemukan bongkahan besar bertonase tinggi. Serpihan yang mencapai permukaan bumi disebut meteorit.

Peneliti senior astronomi dan astrofisika di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan hujan meteor Perseid mencapai puncaknya 12-13 Agustus dan terlihat pada dini hari. "Diperkirakan akan hadir debu meteor sebanyak 50 hingga 80 per jam. Rata-rata, satu sampai dua meteor per menit," katanya.

Hujan meteor Perseid merupakan bagian dari gugusan komet Swift-Tuttles yang memiliki periode 133 tahun untuk mengitari matahari dan melintasi bumi. Meskipun begitu, sisa debu komet yang melintas dekat bumi pada tahun 1993 masih bisa dirasakan bumi setiap tahun.

"Titik lintasan atau perjumpaan bumi dengan komet ini yang menghasilkan hujan meteor setiap tahun. Posisi wilayah ini berada di langit utara tapi Indonesia masih bisa melihat dengan jelas," kata Thomas.

Para ahli memberi nama Perseid karena hujan meteor ini muncul dari arah konstelasi Perseus meskipun sebenarnya meteor ini dapat menjadi bagian apapun dari langit. NASA memperkirakan hujan meteor yang bisa terjadi setiap menit pada masa puncaknya itu, dan merupakan salah satu pemandangan paling ditunggu oleh para astronom.

Berdasarkan penelitian, meteor terdiri dari tiga jenis, ada yang mengandung logam, berupa batuan, dan campuran keduanya. Logam dalam meteor sama seperti besi dan nikel. Adapun batuan terdiri dari jenis karbon dan silikat. "Secara ilmiah umumnya sama seperti di bumi," kata peneliti senior astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin.

Para ahli memperkirakan meteor yang sampai ke permukaan bumi mengandung campuran logam seperti besi dan nikel yang larut di dalam besi. Meteorit juga mengandung titanium, olivin, piroxin, dan feldspar. Meteorit dengan kandungan titanium merupakan material terbaik dalam pembuatan benda-benda berharga, senjata tradisional atau lainnya, karena sifatnya ringan namun sangat kuat.

Kekuatan titanium sama dengan baja, namun beratnya hanya 60 persen dari berat baja dan tahan suhu tinggi, titik lebur titanium mencapai 60 ribu derajat celcius, jauh dari titik lebur besi, baja atau nikel yang berkisar 10 ribu derajat celcius. Dr. Gerhard Schmidt dari the University of Mainz, Jerman, menghitung sekitar 160 logam asteroid yang memiliki diameter 20 km, diperkirakan memiliki konsentrasi kandungan logam-logam langka tersebut.

Logam-logam langka yang ditemukan di dalam kerak Bumi tersebut dikenal sebagai Highly Siderophile Elements (HSE). Elemen Siderophile merupakan kelompok logam transisi yang memiliki kerapatan sangat tinggi yang terikat dengan logam besi pada kondisi padat ataupun cair. Kelompok HSE ini terdiri dari rhenium (Re), osmium Os), iridium (Ir), ruthenium (Ru), rhodium (Rh), platinum (Pt), palladium (Pd) dan emas (Au).

Di Indonesia sendiri, menurut Thomas, Rasi Perseus tetap dapat terlihat jelas karena berada di ketinggian 30 sampai 40 derajat lebih rendah. "Semua wilayah Indonesia masih bisa melihat rasi Perseus pada ketinggian yang rendah walau hanya sekitar 30 sampai 40 derajat."

Masyarakat bisa melihat fenomena ini apabila cuaca cerah, jauh dari polusi cahaya dan medan ke arah timur laut tidak terhalang obyek apapun. "Kita cukup mengarahkan pandangan ke timur laut pada pukul 2 dini hari hingga menjelang subuh. Tidak perlu menggunakan alat," ujar Thomas.

Meskipun begitu, mantan Kepala Pusat Sains Atmosfir dan Iklim LAPAN ini tetap menghawatirkan ketidakoptimalan untuk melihat hujan meteor ini. "Kemungkinan terganggu awan karena cuaca cenderung kemarau basah. Tapi peluang menatap fenomena langit ini tetap ada," kata Prof Dr Thomas Djamaludin.

Arsip Blog