Penyebab Suara Gemuruh
Di Sekitar Gunung Wilis MADIUN
TEMPO Interaktif, Bandung - Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Dr Surono mengatakan, penyebab suara gemuruh sebulan terakhir di sekitar Gunung Wilis, Ponorogo, Jawa Timur, disebabkan gerakan tanah lambat atau rayapan. "Dia akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru," katanya saat dihubungi, Selasa (22/2).
Menurut dia, peristiwa gempa yang disertai suara gemuruh itu tidak ada hubungannya dengan aktivitas Gunung Wilis, yang masuk kategori gunung api Tipe B. Suara gemuruh yang terjadi sebulan terakhir itu dilaporkan terjadi di beberapa kecamatan di lereng gunung itu.
Surono mengatakan, pihaknya sudah menerjunkan tim untuk memeriksa kejadian itu. Di Ponorogo tim memeriksa kejadian itu kemarin di 3 kecamatan yakni di Kecamatan Pulo, Ngebel, dan Soka. Hari ini, tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tengah memeriksa kejadian serupa yang dilaporkan terjadi di Trenggalek.
Warga di sana melaporkan mendengar ada suara gemuruh, getaran tanah, serta terkadang diikuti suara ledakan. Peristiwa itu, papar Surono, mirip dengan yang terjadi April tahun lalu di lereng Gunung Geulis. Kejadian itu, juga mirip dengan peristiwa terdengarnya suara misterius di bawah Bantul pasca gempa bumi, serta di Nainggolan Sumatera Utara pasca gempa Mentawai. "Ini bukan hal baru," katanya.
Surono menjelaskan, peristiwa itu disebabkan oleh gerakan tanah yang tengah mencari keseimbangan baru. Dari laporan timnya, tanah di lokasi kejadian itu lapisan atasnya merupakan lapisan yang urai, yang berada di atas lapisan tanah yang kedap air.
Lapisan tanah di atas, yang bersifat urai itu, punya karakteristik lolos air tinggi. Hujan yang tidak berhenti sepanjang tahun itu membuat lapisan tanah yang urai tersebut beratnya bertambah dan bergerak. "Seperti spon, waktu dia kering diletakkan di bidang miring dia tidak bergerak, ketika spon itu terisi air dia akan menjadi lebih berat, air membuatnya licin dan bergerak," kata Surono.
Faktor adanya retakan di sana juga memicu makin banyaknya air yang merembes masuk ke dalam tanah. Timnya, kata Surono, menemukan contoh retakan itu di Desa Talun, Kecamatan Ngebel, bentuknya melingkar dengan panjang sekitar 120 meter. "Salah satunya ini (pemicunya)," katanya.
Gerakan tanah ini kadang berhenti, dan kadang bergerak tiba-tiba. Saat bergerak tiba-tiba ini dia menimbulkan bunyi keras.
Surono memastikan, gerakan tanah ini bukan disebabkan aktivitas sesar. "Kalau aktivitas sesar, pendorongnya ini tersimpan dulu, begitu rilis (energi ini) biasanya habis (daerah itu), dan diikuti gempa-gempa susulan," katanya.
Dalam rekomendasinya yang dikirim hari ini pada Pemerintah Kabupaten Ponorogo, warga dimintanya untuk secepatnya menutup retakan-retakan tanah yang ditemukan di wilayah itu, lalu dipadatkan, untuk mencegah air masuk lewat retakan itu. "Kalau air masuk di situ, akan mempercepat gerakan tanah, dan gak akan berhenti-berhenti nantinya," kata Surono. "Kecuali retakannya semakin cepat, kita akan pertimbangkan untuk merelokasi warga."
Menurut dia, peristiwa gempa yang disertai suara gemuruh itu tidak ada hubungannya dengan aktivitas Gunung Wilis, yang masuk kategori gunung api Tipe B. Suara gemuruh yang terjadi sebulan terakhir itu dilaporkan terjadi di beberapa kecamatan di lereng gunung itu.
Surono mengatakan, pihaknya sudah menerjunkan tim untuk memeriksa kejadian itu. Di Ponorogo tim memeriksa kejadian itu kemarin di 3 kecamatan yakni di Kecamatan Pulo, Ngebel, dan Soka. Hari ini, tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tengah memeriksa kejadian serupa yang dilaporkan terjadi di Trenggalek.
Warga di sana melaporkan mendengar ada suara gemuruh, getaran tanah, serta terkadang diikuti suara ledakan. Peristiwa itu, papar Surono, mirip dengan yang terjadi April tahun lalu di lereng Gunung Geulis. Kejadian itu, juga mirip dengan peristiwa terdengarnya suara misterius di bawah Bantul pasca gempa bumi, serta di Nainggolan Sumatera Utara pasca gempa Mentawai. "Ini bukan hal baru," katanya.
Surono menjelaskan, peristiwa itu disebabkan oleh gerakan tanah yang tengah mencari keseimbangan baru. Dari laporan timnya, tanah di lokasi kejadian itu lapisan atasnya merupakan lapisan yang urai, yang berada di atas lapisan tanah yang kedap air.
Lapisan tanah di atas, yang bersifat urai itu, punya karakteristik lolos air tinggi. Hujan yang tidak berhenti sepanjang tahun itu membuat lapisan tanah yang urai tersebut beratnya bertambah dan bergerak. "Seperti spon, waktu dia kering diletakkan di bidang miring dia tidak bergerak, ketika spon itu terisi air dia akan menjadi lebih berat, air membuatnya licin dan bergerak," kata Surono.
Faktor adanya retakan di sana juga memicu makin banyaknya air yang merembes masuk ke dalam tanah. Timnya, kata Surono, menemukan contoh retakan itu di Desa Talun, Kecamatan Ngebel, bentuknya melingkar dengan panjang sekitar 120 meter. "Salah satunya ini (pemicunya)," katanya.
Gerakan tanah ini kadang berhenti, dan kadang bergerak tiba-tiba. Saat bergerak tiba-tiba ini dia menimbulkan bunyi keras.
Surono memastikan, gerakan tanah ini bukan disebabkan aktivitas sesar. "Kalau aktivitas sesar, pendorongnya ini tersimpan dulu, begitu rilis (energi ini) biasanya habis (daerah itu), dan diikuti gempa-gempa susulan," katanya.
Dalam rekomendasinya yang dikirim hari ini pada Pemerintah Kabupaten Ponorogo, warga dimintanya untuk secepatnya menutup retakan-retakan tanah yang ditemukan di wilayah itu, lalu dipadatkan, untuk mencegah air masuk lewat retakan itu. "Kalau air masuk di situ, akan mempercepat gerakan tanah, dan gak akan berhenti-berhenti nantinya," kata Surono. "Kecuali retakannya semakin cepat, kita akan pertimbangkan untuk merelokasi warga."