Runtuh Rezim Muammar Gadhafi Dan Berkah Demokratisasi

Dalam rentang yang tidak terlalu lama lagi, rezim Muammar Gadhafi akan runtuh. Kemungkinan ini sangat besar, khususnya jika melihat ambisi Amerika dan sekutunya (NATO) yang bersemangat menggusur Gadhafi dari kekuasaannya.

Kekuasaan Gadhafi tampaknya hanya menghitung hari atau bulan. Paling tidak, dalam tahun ini juga sebuah pemerintahan baru akan berkuasa di Libya.

Gadhafi akan menyusul pendahulunya, Ben Ali dan Husni Mubarak.

Lalu sebuah pemerintahan baru yang lahir melalui pemilu demokratis terbentuk dan berkuasa.

Persoalannya adalah, apakah umat Islam di negara-negara yang diguncang demokratisasi itu patut menyambutnya dengan suka cita atau malah dirundung duka? Lalu bagaimana pula dengan umat Islam di berbagai belahan Bumi ini dalam menyikapi demokratisasi tersebut?

Sepintas, terlihat sikap Amerika dan sekutunya yang gigih hendak menggusur Gadhafi tidak lebih dari upaya menguasai ladang minyak Libya. Sebagaimana yang pernah terjadi di Irak.

Tentu saja alasan menguasai minyak Libya cukup tepat. Bahkan sangat masuk akal. Cadangan minyak Libya sangat melimpah. Tetapi saya tidak ingin mengulas data-data cadangan minyak Libya.

Berkah Demokratisasi

Dalam pandangan saya, hembusan angin demokratisasi di kawasan Timur Tengah tidak sepenuhnya membuat Amerika berbangga atau bersuka cita. Khususnya sepanjang belum menjamin keamanan sekutu abadinya, Israel.

Tentu saja Amerika berkepentingan atas minyak di Kawasan Timur Tengah. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua adalah pengakuan negara-negara di Timur Tengah atas keberadaan Negara Israel.

Sejauh ini tercatat sejumlah Negara Timur Tengah yang tidak mengakui Israel, yaitu: Suriah, Bahrain, Libanon, Yaman, Arab Saudi, Irak, Pakistan, Aljazair, Kuwait, Libya, Uni Emirat Arab dan sejumlah negara lainnya.

Sedangkan yang mengakui Negara Israel adalah: Mesir dan Yordania.

Patut diketahui, sebagian dari negara yang tidak mengakui Israel tersebut tergolong sudah ‘dijinakkan’. Meskipun negara-negara itu tidak mengakui Israel, tetapi bukan merupakan ancaman besar bagi Israel.

Meskipun beberapa tahun lalu terjadi perang antara Libanon dengan Israel, tetapi Libanon bukan musuh yang seimbang bagi Israel. Khususnya dilihat dari segi persenjataan.

Hanya Saddam Hussein yang secara nyata berani melawan Israel. Bukan hanya dalam orasi, tetapi juga serangan, yaitu ketika sejumlah rudal scud di tembakkan ke wilayah Israel pada 2003.

Ketika Saddam Hussein terguling, ancaman berikutnya bagi Israel adalah Iran dan bukan negara-negara yang disebutkan di atas.

Uniknya, meskipun Saddam Hussein terguling dan lahir pemerintahan demokratis di Irak, namun pemerintahan baru tersebut tetap tidak mau mengakui keberadaan negara Israel.

Pemerintahan baru di Irak memilih politik luar negeri yang sama dengan Saddam Hussein, yaitu tetap tidak mengakui negara Israel.

Amerika berhasil membangun pemerintahan demokratis di Irak dan juga menguasai minyaknya, tetapi gagal mendorong Irak untuk mengakui negara Israel.

Demokratisasi yang bergulir di kawasan Timur Tengah, tidak membuat bangsa Arab kehilangan jati dirinya. Bahkan semakin mempererat ikatan persaudaraannya dengan Palestina.

Tergulingnya Husni Mubarak merupakan berkah tersendiri bagi Palestina, khususnya mereka yang menetap di Gaza.

Tergulingnya Husni Mubarak membuka harapan baru bagi rakyat Palestina. Sebab pemerintahan demokratis yang kelak akan berdiri diharapkan lebih peduli kepada rakyat Palestina dibandingkan saat masih diperintah Mubarak yang dikenal dekat dengan Israel.

Berkah demokratisasi pernah terjadi di Palestina, khususnya saat Pemilu 2006. Ketika itu, partai yang dikenal anti Israel, yaitu Hamas, memenangkan pemilu.

Ketika itu pula Amerika dan Israel menghimbau warga dunia agar memboikot Hamas yang disetarakan dengan organisasi teroris.

Demokratisasi yang diinginkan Amerika adalah sebuah pemerintahan yang mengakui keberadaan Negara Israel atau sekurang-kurangnya tidak menunjukkan sikap bermusuhan dengan Israel. Lebih jauh lagi, tidak mengancam Amerika.

Inilah yang tampaknya menjadi kekhawatiran Amerika dalam menyikapi gejolak di Libya.

Libya di bawah rezim Gadhafi memang tidak mengakui Israel dan tidak terlalu mengancam Amerika. Namun Amerika masih melihat ancaman di Libya, yaitu tumbuh suburnya organisasi Al Qaeda, pimpinan Osama bin Laden.

Sebagaimana surat Gadhafi yang ditujukan kepada Obama belum lama ini. Gadhafi mengungkit masalah Al Qaeda yang ada di Libya dan Gadhafi tampaknya cukup berbangga mampu membungkam Al Qaeda di negerinya.

Gadhafi mengungkapkan bahwa Al Qaeda justru lebih berbahaya jika menyusup dan mengacau di Amerika.

Surat Gadhafi yang menyebut Obama dengan sebutan ‘anakku’ itu menunjukkan bahwa Gadhafi menilai Al Qaeda adalah musuh berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari Israel.

Meskipun Gadhafi tidak mengakui Israel, tetapi jelas bahwa Israel tidak membahayakan kekuasaannya.

Gadhafi tetap merasa nyaman bermusuhan dengan Israel dibandingkan bermusuhan dengan Al Qaeda. Sebab Al Qaeda dapat menusuk dari dalam negerinya sendiri.

Kemapanan Semu

Kemapanan yang terjadi di sebagian Negara di kawasan Timur Tengah adalah kemapanan semu. Sebagaimana kita lihat, sejumlah Negara monarki di kawasan tersebut telah lama tenggelam dalam kemewahan yang panjang. Namun di saat yang bersamaan, cenderung tidak terlalu bersikap tegas dalam menyikapi nasib bangsa Palestina.

Ketika Gaza dikepung dan diluluh lantakkan Israel, hampir tidak ada negara Arab yang secara nyata membantunya. Kecuali sekadar suara-suara himbauan atau pidato di PBB.

Ketika Perang Gaza terjadi, Mesir justru menutup pintu perbatasannya yang membuat rakyat Palestina berada dalam penderitaan yang luar biasa.

Karenanya, tergulingnya Husni Mubarak membangkitkan harapan terhadap terbentuknya pemerintahan baru Mesir yang lebih peduli dengan Palestina.

Dalam hal ini, organisasi Ikhwanul Muslimin yang selalu ditindas rezim Mubarak, besar kemungkinan akan bangkit dan menentukan arah masa depan Mesir.

Tentu saja organisasi itu akan mengalami tantangan yang hebat sebagaimana FIS (Front Islamic du Salut) di Aljazair yang dibungkam setelah memenangkan pemilu.

Bagaimana dengan Libya?

Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, peluang tergulingnya Gadhafi sangat besar. Seandainya itu yang terjadi, maka demokratisasi yang lahir di Libya justru membuka harapan baru terbentuknya sebuah pemerintahan yang lebih tegas dan berani dalam membela bangsa Palestina. Bukan dalam bentuk retorika pidato gaya Gadhafi.

Pada awal-awal kekuasaannya, Gadhafi memang hebat dalam menentang Amerika. Tetapi kekuasaannya yang terlalu lama justru membuat perilakunya hanya menjadi bahan olok-olokan. Sebagaimana yang dilakukannya tahun lalu saat mengumpulkan sejumlah perempuan Italia untuk diceramahi agama.

Gadhafi memang layak disingkirkan dan diganti dengan pemerintahan baru yang lebih tegas dalam membela kepentingan Palestina.

Amerika dan NATO tetap tidak berbangga menggulingkan Gadhafi atau menguasai minyak Libya. Amerika baru berbangga jika pemerintahan baru di Libya mau mengakui keberadaan Negara Israel.

Tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Sebagaimana ditunjukkan pemerintah Irak yang tetap menolak mengakui Israel.

Biarlah Amerika menguasai minyak Libya. Asalkan pemerintahan baru di Libya tetap tidak mengakui negara Israel dan jauh lebih nyata dalam membantu terbentuknya negara Palestina Merdeka.

Semoga rakyat Libya menyambut lahirnya demokratisasi dengan rasa bahagia.

Dan Umat Islam di berbagai belahan dunia dapat mengambil pelajaran bahwa kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup dan menindas.

Arsip Blog