JAKARTA, KOMPAS.com — Gaung Piala Dunia 2010 Afrika Selatan menjejakkan sesak bagi banyak pecinta sepak bola Indonesia. Selain karena "Tim Merah Putih" tak tampil di sana, jalan ke arah sana pun tak kunjung terang.
Namun, sama seperti bulatnya bola yang tak dibentuk oleh rusuk batasan, segelap apa pun keadaan sekarang, kesempatan dan harapan ke sana selalu ada. Bila generasi sekarang belum bisa menjanjikan apa-apa, anak-anak adalah jawabannya.
Melihat sekitar 400 anak usia 15-19 tahun yang tampil di babak kualifikasi putaran ketiga Piala Nike 2010 di Taman Menteng, Minggu (20/6/2010), Indonesia sepatutnya yakin mampu tampil di Piala Dunia, suatu saat nanti, tanpa harus menjadi tuan rumah.
Memang, dari anak-anak itu, belum ada yang menunjukkan bakat seperti Park Ji-Sung. Namun, mengingat aturan main yang unik, bakat itu bukannya tak mereka miliki, tetapi tak bisa mereka tampilkan.
Dalam kompetisi itu, tim bertanding dengan lima pemain saja di lapangan berukuran 20 x 12 meter dengan dan mulut gawang berukuran 1 x 0,60 meter. Waktu pertandingan ditetapkan hanya lima menit. Setiap tim yang kalah akan langsung tersingkir dan tim yang menang akan terus bertanding.
Dengan segala keterbatasan itu, wajar bila "Park-Park" Indonesia belum bisa unjuk gigi. Yang jelas, anak-anak memiliki sesuatu yang menjadikan Park mampu bersaing dengan pemain-pemain Eropa atau Amerika Latin, yaitu semangat, sikap pantang menyerah, dan sportivitas.
Anak-anak ini bukannya tidak tahu bahwa kompetisi yang mereka ikuti berhadiah tur ke markas raja Piala Dunia, Brasil, selama enam hari. Namun, itu tak membuat mereka menghalalkan segala cara untuk menang. Setiap laga usai, mereka berjabat tangan dengan lawan, meski selama laga empat terjadi benturan fisik cukup serius.
Kebesaran hati anak-anak juga tampak, ketika ada satu tim yang berisi pemain berpostur besar bertemu tim dengan pemain berukuran tubuh lebih mungil. Dalam setiap perebutan bola, tak ada keraguan bagi "si kecil" untuk tetap menempel ketat "si besar".
Ketika pertandingan usai, mereka tetap mengembangkan senyum seakan-akan tak ada yang kalah atau menang. Bagi yang kalah, mereka tetap keluar lapangan sambil bercanda. Meski menyesali kekalahan, mereka tak saling menyalahkan.
Para pemain juga tak pernah kehilangan semangat untuk bertanding. Dengan sistem pertandingan yang memungkinkan setiap tim bermain lebih dari sekali, para peserta berusaha memaksimalkan setiap kesempatan bertemu musuh berbeda untuk mengukur kemampuan diri.
Kualifikasi di Taman Menteng ini adalah putaran ketiga dari empat putaran kualifikasi. Sebelumnya, kompetisi serupa digelar di Lapangan Pacuan Kuda, Jakarta Timur dan Museum Fatahillah, Jakarta Pusat. Tim yang gagal bisa kembali mengikuti kualifikasi sampai putaran terakhir digelar di Lapangan Blok S, Minggu (27/6/2010).
Sistem seperti itu juga telah memperlihatkan betapa anak-anak Indonesia punya semangat untuk memperbaiki diri. Imam, misalnya, kapten tim Blacksweet 1 Tangerang sudah mengikuti kompetisi ini sejak di Lapangan Fatahillah. Karena belum berhasil, ia mencoba lagi di Taman Menteng.
Ternyata, usahanya belum menghasilkan tiket grand final. Ia pun mengaku ingin kembali tampil di Lapangan Blok S, hari Minggu besok.
"Enggak apa-apa. Saya cuma senang bermain bola. Kebetulan kompetisi ini gratis, jadi saya mau coba terus sampai benar-benar mentok," ujar Imam.
"Kalau bisa sampai Monas dan menang, ya alhamdullilah, kalau enggak ya enggak apa-apa. Bisa dapat banyak teman baru saja sudah senang," tambahnya.
Imam hanyalah satu dari 400 anak-anak yang mengikuti kompetisi seperti itu. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta, bisa dibayangkan, ada berapa juta anak bersemangat seperti Imam.
Dengan jumlah sebesar itu, pasti ada anak-anak bersemangat dan bertalenta serupa Cesc Fabregas, Fernando Torres, Carlos Tevez, Cristiano Ronaldo, Luis Fabiano, Wesley Sneijder, Park Ji-Sung, atau banyak pemain top dunia lainnya.
Dan dengan begitu pula, harapan Indonesia untuk tampil di Piala Dunia, selain dengan cara menjadi tuan rumah, akan selalu menyala.
Bila lahan sepak bola negeri sekarang ini tandus, maka percayalah itu akan menjadi subur suatu hari nanti. Bila saat ini sepak bola Indonesia seperti lahan tak bertuan, maka percayalah akan ada manusia bijaksana yang akan menggarapnya dengan ketulusan, kesetiaan, dan kebanggaan.
Sampai saat itu tiba, Tanah Air ini akan tetap setia melahirkan benih-benih unggul sehingga meski akan ada banyak benih bagus tergerus, setidaknya, Indonesia tak akan pernah kehilangan kesempatan panen pada musim pertama.
Yang jelas, entah generasi yang mana, akan ada anak-anak Indonesia yang siap dan sanggup menancapkan Merah Putih dan membuat Indonesia Raya berkumandang di lapangan hijau mana saja di dunia ini.
Kunjungan ke Brasil bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi anak-anak Indonesia sebelum mulai menuliskan masa depan sepak bola negeri ini. (*)
Sumber : kompas.com