Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menyayangkan kepolisian dan kejaksaan yang dinilai lemah mengolah data perbankan yang patut dicurigai sebagai uang ilegal. Kelemahan itu yang menyebabkan Gayus lolos saat sidang di PN Tangerang.
" Kami menyuplai data intelejen keuangan. Namun mengolahnya harus lebih pintar dan jeli. Aliran dana yang kami suplai, penyidik harus memanfaatkan dengan pintar," kata Direktur Pengawasan dan Kepatuhan PPATK Subintoro usai bersaksi sebagai ahli untuk terdakwa Bahasyim, di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Kamis (9/12/2010) kemarin.
"Misalnya kasus Bahasyim tercatat Rp 64 miliar. Kenapa yang muncul hanya Rp 1 miliar. Yang lain di kemanakan? Seperti kasus Gayus saat di PN Tangerang, Gayus hanya kena Rp 370 juta. Lalu berkembang lagi saat diperiksa tim independen Rp 100 juta. Lalu berkembang terus," tukas alumni Fakultas Hukum UGM ini.
Pun demikian, Subintoro enggan disebut dakwaan jaksa lemah. Dia lebih memilih jawaban diplomatis, bahwa jaksa dan polisi harus lebih pintar dalam menjerat penjahat korupsi dan pencucian uang.
"Saya tidak mengatakan dakwaan jaksa salah. Saya mengatakan jaksa, polisi harus lebih pintar," ucap Subintoro memperhalus ucapannya.
Nama Gayus dalam kasus korupsi, ternyata bukan terjadi dewasa ini di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, karena pada zaman Romawi pun sudah ada koruptor bernama Gayus (Gaius) Verres.
"Dalam buku, saya temukan ada Gayus Verres, seorang koruptor yang hidup di zaman Romawi," kata Deputi Bidang Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Muhammad Najib Wahito, saat Penyuluhan Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia di Batam.
Ia mengatakan, tidak hanya Gayus HP Tambunan yang lekat dengan korupsi, Gayus Verres juga memiliki kasus dan tingkah polah serupa di zaman Romawi.
"Gayus Verre tamak dan brutal," kata Najib.
Gayus Verre adalah seorang gubernur pada zaman Romawi yang sewenang-wenang kepada masyarakat dengan menggunakan uang rakyat secara seenaknya.
Selain itu, ia mengemukakan, dalam memberikan hukuman kepada warga yang melanggar hukum dalam ukurannya juga diperlakukan seenaknya.
"Dalam menentukan hukuman, ia meminta uang, agar hukuman yang diberikan lebih sedikit," cerita Najib.
Begitu pula dalam eksekusi hukuman mati. Gayus Verres kerap memberikan opsi kepada kerabat terdakwa, bila membayar uang, maka narapidana mati dapat dikuburkan secara layak. Sebaliknya, menurut Najib, bila tidak diberi uang, maka jenazah narapidana akan dilemparkan sebagai umpan makanan gladiator.
" Kami menyuplai data intelejen keuangan. Namun mengolahnya harus lebih pintar dan jeli. Aliran dana yang kami suplai, penyidik harus memanfaatkan dengan pintar," kata Direktur Pengawasan dan Kepatuhan PPATK Subintoro usai bersaksi sebagai ahli untuk terdakwa Bahasyim, di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Kamis (9/12/2010) kemarin.
"Misalnya kasus Bahasyim tercatat Rp 64 miliar. Kenapa yang muncul hanya Rp 1 miliar. Yang lain di kemanakan? Seperti kasus Gayus saat di PN Tangerang, Gayus hanya kena Rp 370 juta. Lalu berkembang lagi saat diperiksa tim independen Rp 100 juta. Lalu berkembang terus," tukas alumni Fakultas Hukum UGM ini.
Pun demikian, Subintoro enggan disebut dakwaan jaksa lemah. Dia lebih memilih jawaban diplomatis, bahwa jaksa dan polisi harus lebih pintar dalam menjerat penjahat korupsi dan pencucian uang.
"Saya tidak mengatakan dakwaan jaksa salah. Saya mengatakan jaksa, polisi harus lebih pintar," ucap Subintoro memperhalus ucapannya.
Nama Gayus dalam kasus korupsi, ternyata bukan terjadi dewasa ini di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, karena pada zaman Romawi pun sudah ada koruptor bernama Gayus (Gaius) Verres.
"Dalam buku, saya temukan ada Gayus Verres, seorang koruptor yang hidup di zaman Romawi," kata Deputi Bidang Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Muhammad Najib Wahito, saat Penyuluhan Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia di Batam.
Ia mengatakan, tidak hanya Gayus HP Tambunan yang lekat dengan korupsi, Gayus Verres juga memiliki kasus dan tingkah polah serupa di zaman Romawi.
"Gayus Verre tamak dan brutal," kata Najib.
Gayus Verre adalah seorang gubernur pada zaman Romawi yang sewenang-wenang kepada masyarakat dengan menggunakan uang rakyat secara seenaknya.
Selain itu, ia mengemukakan, dalam memberikan hukuman kepada warga yang melanggar hukum dalam ukurannya juga diperlakukan seenaknya.
"Dalam menentukan hukuman, ia meminta uang, agar hukuman yang diberikan lebih sedikit," cerita Najib.
Begitu pula dalam eksekusi hukuman mati. Gayus Verres kerap memberikan opsi kepada kerabat terdakwa, bila membayar uang, maka narapidana mati dapat dikuburkan secara layak. Sebaliknya, menurut Najib, bila tidak diberi uang, maka jenazah narapidana akan dilemparkan sebagai umpan makanan gladiator.
Ia mengemukakan, Gayus Verres mirip Gayus Tambunan saat dibawa ke pengadilan. Gayus Verres juga melakukan kriminalisasi kepada hakim dan jaksa.
"Hakim dituduh macam-macam, karena dia gubernur pada masa itu, sehingga ia tahu banyak," kata Najib.
Mengenai Gayus Tambunan, ia menilai, telah melakukan kejahatan korupsi sempurna.
Gayus Tambunan diduga melakukan serangkaian manipulasi pajak yang melibatkan banyak pengusaha dan mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah.
Sumber : www.kabardunia.tk