Densus 15, Pasukan Khusus Pemburu Tikus

Sambil menenteng senapan, Purwanto (45), berjalan perlahan. Sorot matanya tajam mengikuti arah lampu yang dipasang di jidatnya.Tiba-tiba dia menghentikan langkah. Moncong senapan laras panjang yang dipegangnya, diarahkan ke depan. Sinar laser yang dipasang di atas senapan menangkap benda bergerak dari jarak kira-kira 10 meter.
Pemicu senapan pun ditarik. ”Duar…” Bidikan mengenai sasaran. ”Kenek iku pas ndase, cepetan jupuken [kena itu pas di kepalanya cepat diambil],” kata warga RT 1/RW 6 desa Banjarasri, Tanggulangin itu.

Jangan salah, musuh yang berhasil ditembak Purwanto bukanlah teroris, melainkan seekor tikus sawah. Tikus itu berukuran cukup besar. Meski dari jarak yang cukup jauh, bidikan Purwanto ternyata tepat sasaran. Tidak meleset, tepat mengenai kepala buruannya.

Dalam tiga jam malam itu, sekitar 30 orang pemburu tikus asal dua desa yakni Gelang, Kecamatan Tulangan dan Banjarasri Kecamatan Tanggulangin, yang menamakan dirinya Densus 15, dapat membunuh sekitar 30 tikus. ”Kalau nggak bulan purnama bisa lebih, karena kalau bulannya bulat, kebanyakan tikus sembunyi,” ujarnya.

Para pemburu tikus itu kebanyakan adalah petani. Tikus-tikus itulah yang selama ini jadi hama yang mengganggu para petani di dua desa itu. Berbekal senapan angin kaliber 4,5 milimeter.
Selain senapan angin dan laser, tim Densus itu juga mempunyai senjata lain. Josbush, begitu namanya, adalah sejenis petasan asap. Biasanya, ketika tembakan meleset dan tikus masuk ke dalam lubang, petasan Josbush langsung disulut dan dimasukkan. Sang tikus pun mati karena kehabisan nafas dan keracunan asapnya. ”Pastiklepek-klepek kalau kena Josbush dan mati di dalam lubang,” ucap salah satu anggota Densus.

Setelah mati, tikus-tikus itu biasanya dikubur. Terkadang dijadikan santapan ikan lele di kolam.
Dalam setahun ini, Densus 15 sudah membunuh sekitar 8 ribu tikus sawah. Meski hanya belajar otodidak, rata-rata para pemburu sudah mahir. Bahkan sudah bisa disebut penembak jitu, sekali tembak langsung tepat sasaran.

Didik Fakhrudin, Kepala Desa Banjarasri, mengungkap, ide untuk membunuh tikus dengan senapan angin itu memang baru dimulai setahun lalu. Waktu itu, hama tikus di Banjarasri sudah tidak terkendali. Beberapa sawah warga sering mengalami puso (gagal panen) karena batang padi yang sudah ditanam habis dimakan tikus. Obat atau racun yang diberi petugas pertanian pun tak mempan untuk mengatasi tikus.”Kalau pakai racun, banyak risikonya,” katanya.

Mulanya, dia melihat beberapa orang berburu ikan dengan menggunakan senapan. Dari situlah idenya muncul. ”Pikiran saya waktu itu, gimana kalau senapan itu digunakan untuk menembak tikus,” katanya.

Dia pun segera berangkat ke Surabaya untuk membeli senapan. Pertama kali, dia beli senapan seharga Rp400 ribu di Blauran. Mula-mula dia berburu pada siang hari. Sendirian dia bergerak. “Hasilnya lumayan, dapat membunuh tikus banyak,” katanya.

Tak lama dia dapat masukan agar menggunakan sinar laser di atas senapan anginnya itu. Dengan begitu perburuan bisa dilakukan juga pada malam hari.
Ketika hama tikus di desanya mengganas, malam hari pun dia “turun”. “Bayangkan ada sawah warga seluas 7 ribu meterpersegi yang hanya bisa panen 25 kg saja, karena habis dilahap tikus,” ujarnya.

Perburuan dengan bantuan sinar laser membuahkan hasil yang lumayan. Setiap hari dia bisa membunuh sampai 50 tikus. ”Kalau tikusnya lagi banyak, bisa sampai 200 tikus,” katanya.

Melihat keberhasilannya, beberapa warga desa pun ikut. Mereka mencoba membeli senapan dan aktif berburu tikus di sawah mereka masing-masing.
Keberhasilan membasmi tikus itu didengar oleh petani di desa Gelang, Tulangan. Mereka pun mengikutinya dengan membeli seperangkat senapan angin. Hingga kini, dua desa itu sudah mempunyai komunitas pemburu tikus. Anggotanya sekitar 30 orang. Tiap malam, warga kedua desa selalu bergiliran untuk berburu tikus di sawah. ”Kalau di Gelang lagi banyak, petani sini langsung ngedrop ke sana dan berburu tikus di sana. Begitu juga sebaliknya,” ucap Sarkun.

Ada alasan kenapa tim itu dinamakan Densus 15. ”Lima belas itu berasal dari nomor SDSB [sumbangan Dana Sosial Berhadiah] dulu, kan lambangnya tikus,” celetuk salah satu warga.

Untuk berburu tikus-tikus sawah itu para petani menggunakan peluru yang harga per kilonya Rp 150 ribu. Setiap kilonya berisi 1.500 butir peluru. Yang berarti untuk membunuh satu tikus butuh biaya Rp 100.


Arsip Blog