Jaminan kebebasan beragama di era pemerintahan SBY-Boediono dinilai hanya sebatas lipstik yang minim implementasi. Sepanjang 2011 Presiden telah 19 kali berpidato untuk menyampaikan pesan toleransi, namun pada tahun ini pula pelanggaran terhadap kebebasan beragama justru meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa Presiden lebih gemar berpidato daripada fokus menyelesaikan masalah tersebut. Demikian dikatakan Ketua SETARA Institute Hendardi, Senin (19/12).
"SBY hanya melakukan politik kata-kata, namun tidak berkontribusi pada pemajuan dan perlindungan terhadap hak azasi manusia," kata Hendardi dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun SETARA Institute tentang "Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011" di Wisma Arsonia, siang tadi.
Hendardi menilai, hal itu merupakan upaya pencitraan SBY di tengah berbagai sandera kekuatan politik yang melemahkan dirinya.
"Kami menduga pembentukan Tim untuk Mesuji yang dipimpin Wamenkumham Denny Indrayana juga dalam rangka pencitraan, agar Wamen terlihat bekerja. Buat apa bentuk banyak Tim, karena kita sudah ada Komnas HAM, yang dibentuk berdasarkan Undang Undang," katanya.
Menurut Hendardi, kondisi ini diperparah dengan sikap Menteri Agama Suryadharma Ali, yang gagal mengemban mandat untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi kebebasan beragama dan kerukunan di antara pemeluk agama. "Menag justru lebih gemar berkampanye untuk memproteksi konstituen politiknya, dengan terus menerus menjadikan isu Ahmadiyah sebagai kapital," kata dia.
Berdasarkan catatan SETARA Institute, setidaknya terdapat 85 kali pernyataan Menag pada 2011 ini yang justru kontraproduktif dengan upaya pemajuan hak azasi manusia dalam konteks kebebasan beragama.