Timbre (atau warna suara) rendah pada pria mungkin kerap menjadi daya tarik bagi sebagian kaum wanita. Suatu studi terbaru menemukan, pria dengan suara dalam dan rendah cenderung memiliki sperma yang berkurang jumlahnya.
Kuncinya, faktor hormon testosteron laki-laki. Hormon ini yang membuat pitch suara lebih rendah, sekaligus dapat menggagalkan produksi sperma. Tingkat produksi sel sperma seorang pria mencapai 1.500 per satu detik.
Mengenai studi yang dikerjakan oleh Leigh Simmons dan rekan-rekannya di University of Western Australia ini, data diambil dari 54 orang pria di kampus. Suara mereka direkam, lalu ada pula sejumlah sukarelawan wanita yang diminta untuk menilai tingkatan (rate) maskulinitas dan atraktivitas suara-suara tersebut berdasarkan preferensi pribadi.
Dikumpulkan juga sampel sperma, yang kemudian dianalisis di lab dengan sistem analisis sperma berbasis computer-assisted.
"Faktanya, analisis menunjukkan pria yang bersuara rendah dan dianggap menarik wanita tidak mempunyai kualitas sperma lebih baik daripada yang lain, yang tidak bersuara rendah," ungkap Simmons.
Dikatakan pakar biologi evolusioner ini bahwa, energi yang dicurahkan pria untuk memikat (atraktif) terhadap wanita mengakibatkan konsekuensi tersebut: konsentrasi spermanya menjadi lebih sedikit pada saat ejakulasi.
Gambaran Evolusi Maskulinitas?
Ia pun menjabarkan, pertanyaan berikut adalah apakah hasil studi ini pun bisa untuk selanjutnya diarahkan pada soal evolusi/perubahan ciri alias karakteristik maskulinitas pada pria modern.
Simmons menggarisbawahi, maskulinitas juga siginifikan dalam kompetisi di antara pria, "Di masa lalu, pria yang lebih hebat (jantan) pasti akan sukses bereproduksi. Dan penentu kehebatan itu tak dapat dipungkiri merupakan kombinasi beberapa kriteria, seperti dalam hal suara, wajah, tubuh, dan lainnya."
"Sejak dahulu pria, secara umum, memiliki tubuh berotot dan suara rendah. Ini dimiliki karena para pria harus bersaing demi status dan dominasi," tambah Laura Dane,sebagai pakar psikologi evolusioner asal Douglas College Canada.
(Nat Geo News)
Kuncinya, faktor hormon testosteron laki-laki. Hormon ini yang membuat pitch suara lebih rendah, sekaligus dapat menggagalkan produksi sperma. Tingkat produksi sel sperma seorang pria mencapai 1.500 per satu detik.
Mengenai studi yang dikerjakan oleh Leigh Simmons dan rekan-rekannya di University of Western Australia ini, data diambil dari 54 orang pria di kampus. Suara mereka direkam, lalu ada pula sejumlah sukarelawan wanita yang diminta untuk menilai tingkatan (rate) maskulinitas dan atraktivitas suara-suara tersebut berdasarkan preferensi pribadi.
Dikumpulkan juga sampel sperma, yang kemudian dianalisis di lab dengan sistem analisis sperma berbasis computer-assisted.
"Faktanya, analisis menunjukkan pria yang bersuara rendah dan dianggap menarik wanita tidak mempunyai kualitas sperma lebih baik daripada yang lain, yang tidak bersuara rendah," ungkap Simmons.
Dikatakan pakar biologi evolusioner ini bahwa, energi yang dicurahkan pria untuk memikat (atraktif) terhadap wanita mengakibatkan konsekuensi tersebut: konsentrasi spermanya menjadi lebih sedikit pada saat ejakulasi.
Gambaran Evolusi Maskulinitas?
Ia pun menjabarkan, pertanyaan berikut adalah apakah hasil studi ini pun bisa untuk selanjutnya diarahkan pada soal evolusi/perubahan ciri alias karakteristik maskulinitas pada pria modern.
Simmons menggarisbawahi, maskulinitas juga siginifikan dalam kompetisi di antara pria, "Di masa lalu, pria yang lebih hebat (jantan) pasti akan sukses bereproduksi. Dan penentu kehebatan itu tak dapat dipungkiri merupakan kombinasi beberapa kriteria, seperti dalam hal suara, wajah, tubuh, dan lainnya."
"Sejak dahulu pria, secara umum, memiliki tubuh berotot dan suara rendah. Ini dimiliki karena para pria harus bersaing demi status dan dominasi," tambah Laura Dane,sebagai pakar psikologi evolusioner asal Douglas College Canada.
(Nat Geo News)