Bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global, pendidikan merupakan kunci utamanya. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat strategis. Sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya sumberdaya manusia yang buruk, akan secara pasti melahirkan masyarakat yang buruk pula.
Untuk mengantar kepada visi pendidikan yang demikian, dan melihat realitas pendidikan di negeri ini masih sangat jauh dari harapan . Bahkan, jauh tertinggal dari negara – negara lain. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal : Pertama, paradigma pendidikan nasional yang sangat sekuler dan materialistik sehingga tidak menghasilkan manusia yang berkualitas utuh, lahir dan batin. Kedua, semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun. Ketiga, rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan untuk bersaing secara global.
Sistem pendidikan yang sekuler materialistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sebuah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga sekuler dan materialistik. Memang, dalam sistem sekuler materialistik itu, yang namanya pandangan, aturan, dan nilai – nilai Islam tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, terutama dalam pendidikan ini. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekuleristik lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama dan segala akibat-akibatnya yang menimpa bangsa dan negara ini.
Paradigma Pendidikan Nasional
Dalam UU Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 tampak jelas adanya dikotomi pendidikan agama dan umum yang bisa melahirkan pendidikan sekuler materialistik. Padahal sistem pendidikan yang dikotomis semacam ini telah terbukti gagal melahirkan manusia utuh (soleh) yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan dan perkembangan penguasaan sains dan teknologi.
Dari sistem pendidikan ini, terdapat kesan yang kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu (iptek) yang dilakukan Depdiknas dipandang sebagai tidak berhubungan dengan Agama (Islam). Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan, justeru kurang tergarap secara serius. Kurikulum Agama (Islam) hanya ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimalis dan bukan menjadi dasar utama dari seluruh aspek kehidupan.
Ini artinya, sangat jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai tujuan pendidikan nasional itu sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Karena itu, pendidikan yang sekuler materialistik ini memang bias melahirkan orang yang menguasai sains teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Namun, pendidikan semacam ini terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan pengetahuan keislaman. Betapa banyaknya lulusan pendidikan umum yang tetap saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, yang belajar dalam lingkungan pendidikan agama memang menguasai pengetahuan keislaman dan secara relatif kepribadiannya tergarap dengan baik, tetapi disisi lain terkesan buta terhadap ilmu-ilmu kehidupan modern.
Apa yang terjadi selanjutnya? Sektor-sektor kehidupan modern seperti industri manufaktur, perdagangan, jasa, eksplorasi SDA, perbankan, dan lain-lain lebih banyak diisi oleh orang-orang yang mengerti pengetahuan Islam lebih banyak berkumpul di dunianya, seperti madrasah, dosen/guru agama, Depag, dan pada umumnya tidak mampu bersaing dan terjun pada sector-sektor modern. Dan ujung-ujungnya, merebaknya wabah korupsi di negeri ini karena akibat keterbelahan sistem pendidikan ini, termasuk berbagai penyakit sosial lainnya. Hal ini telah kita rasakan sampai saat ini.
Biaya Pendidikan Mahal Selangit
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat agar anaknya dapat menikmati pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari Taman Kanak – Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT) yang membuat masyarakat miskin tidak memiliki kesempatan yang sama dengan kaum the haves (golongan kaya). Tentu tidak ada pilihan lain, kecuali putus sekolah.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pendidikan sebagai pelayanan publik, tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35 – 40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong terjadinya privatisasi pendidikan. Apa akibatnya? Sekitar yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban pertama. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5-2005). Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan, utang pemerintah Indonesia periode Januari – Agustus 2010 tercatat sebesar Rp. 1. 654,9 triliun (media umat, edisi 48 3-23/12/2010). Artinya, jerat utang ini akan terus menjadi bagian dalam mengisi APBN, walaupun negeri ini berlimpah kekayaan alamnya. Dan tentu saja, dana pendidikan akan tetap terjerumus dengan utang yang besar itu.
Karena itu, jika alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya bertolak di Indonesia. Di luar negeri, misalnya Jerman, Perancis, Belanda dan dibeberapa Negara berkembang lainnya, justru banyak sekolah/perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah, bahkan ada yang gratiskan biaya pendidikannya.
Pendidikan yang berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Kewajiban pemerintahlah atas nama Negara untuk menjamin setiap warga negaranya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ini vidi ideal pemerintahan dari segala strukturnya untuk mewujudkan peradaban yang memanusiakan dari sadar akan eksistensinya di muka bumi ini sebagai hamba Tuhan.
Ancaman Komersialisasi
Orang miskin dilarang sekolah! Dari tahun ketahun, tidak lama lagi, mungkin itu yang akan terjadi di Indonesia. Pasalnya sekolah semakin mahal. Untuk masuk TK sampai perguruan tinggi, apalagi unggulan, SBI, orang tua bisa menghabiskan jutaan sampai miliyaran rupiah. Memang, ada yang murah tetapi jangan ditanya kualitasnya, tentu apa adanya. Secara jujur, inilah yang disebut diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. Kalau punya uang banyak, pasti bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dan sebaliknya, kalau terbatas dananya harus pasrah dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan. Kenapa? Karena seharusnya pendidikan yang berkualitas harus berlaku sama bagi siapa saja yang punya uang atau tidak. Sebab pendidikan yang berkualitas merupakan asset negara yang bukan milik orang kaya.
Sebenarnya inilah yang disebut pengapdosian kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan memang semakin menguat. Memang dalam sitem kapitalis, peran negara diminimalisasi, negara hanya sebagai regulator. Peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah “luhur” yang sebenarnya menimpa yaitu otonomi sekolah, otonomi kampus, dewan sekolah yang intinya negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Lagi-lagi yang muncul adalah masalah pendanaan, sehingga harus banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai ujung-ujungnya menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, pendidikan benar-benar dikomersialisasikan melalui sumber dana masyarakat non – SPP yang itemnya bertumpuk.
Intervensi Asing
Meningkatnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisasi. Sejak awal memang penjajah telah memformat sistem pendidikan menjadi sistem kapitalisme yang siap mengabdi kepada tuannya. Artinya, meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi subtansi sistem pendidikan yang sekuler materialistik yang dijalankan oleh para pemimpin yang memang dididik oleh mereka-mereka untuk mengalahkan imperialisme gaya baru.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan kapitalistik akan muncul subur dan tidak bisa dilepaskan dari peran intelektual yang dididik oleh “Barat” masih mencengkeram kuat negeri ini. Seperti persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan institusi asing. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa Indonesia masih di bawah asing. Artinya, intervensi ini terjadi melalui sistem negara yang sekuler dan para intelektualnya.
Nah, asing biasa masuk melalui beberapa jalan seperti memberikan bantuan, pinjaman, beasiswa, hibah, penelitian, dan lain-lain. Berbagai pinjaman itu dikucurkan agar kebijakan perguruan tinggi tersebut dapat tunduk di bawah tekanan dan asing yang kelak para alumni AS ini akan menjadi “diplomat” yang notabene pelanjut imperialisme baru.
Di Indonesia, jargon “pendidikan untuk semua” sering dilantunkan. Namun dibawah sistem demokrasi ini sering “dibajak” oleh pemilik modal, termasuk pemodal asing. UU Pendidikan yang dibuat sering malah berpihak kepada pendidikan mereka dan bukan pada rakyat banyak. Itulah sistem pendidikan dalam cengkeraman kapitalisme.
sumber