Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menarik mundur Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai finalis dalam ajang pemilihan tujuh keajaiban alam baru atau "New seven wonders of nature" (N7WN).
"Keputusan ini diambil karena pihak penyelenggara kampanye New 7 Wonders (N7W) Foundation telah melakukan tindakan tidak profesional, tidak konsisten, dan tidak transparan, serta tidak memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, di Jakarta.
Meski mengundurkan diri dari kampanye pemilihan tujuh keajaiban alam baru bersi yayasan New 7 Wonders, namun TNK menurut Jero Wacik tetap merupakan "world heritage" atau warisan dunia yang diakui Unesco pada 1991.
Pada Agustus 2008, Kemenbudpar menjadi Official Supporting Committee (OSC)/Lead Agency untuk mendukung TNK sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam baru yang pemilihannya dilakukan melalui "online voting".
Kemenbudpar telah melakukan serangkaian kegiatan kampanye "online" dan "offline" baik di dalam maupun di luar negeri untuk mempromosikan dan mendukung TNK, dan telah membuahkan hasil pada 21 Juli 2009, saat TNK terpilih sebagai salah satu dari 28 finalis kampanye N7WN setelah menyisihkan 440 nominasi dari 220 negara.
Dalam perjalanannya muncul polemik, yayasan N7W pada awal Desember 2010 menyatakan setuju Indonesia dalam hal ini Jakarta sebagai Tuan Rumah Penyelenggaraan (Official Host) deklarasi 7 keajaiban dunia alam.
Namun syaratnya, Pemerintah Indonesia membayar "license fee" sebagai tuan rumah penyelenggaraan deklarasi sebesar 10 juta dolar AS, serta menyiapkan 35 juta dolar AS sebagai biaya penyelenggaraan acara deklarasi.
Padahal Kemenbudpar baru sekadar menyatakan minat untuk menjadi tuan rumah namun sama sekali belum menandatangani persetujuan apapun maupun mendaftarkan proposal "bidding" resmi seperti yang disyaratkan yayasan N7W pada dokumen New7Wonders Official Host Worldwide Bidding Tender.
Permintaan itu kemudian ditolak oleh Kemenbudpar karena dinilai tidak realistis. Namun sebagai reaksi penolakan itu, yayasan N7W pada akhir Desember 2010 mengancam akan mengeliminasi TNK sebagai finalis N7W.
Menurut Jero Wacik, kedua hal tersebut sangat tidak berhubungan karena keberadaan TNK sebagai finalis kampanye N7WN dan penawaran yayasan N7W untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan merupakan dua hal yang berbeda, dan seharusnya tidak memiliki keterkaitan sama sekali.
Pada 7 Februari 2011, yayasan N7W memutuskan untuk tetap mempertahankan TNK sebagai finalis namun melakukan tindakan penghapusan peran Kemenbudpar sebagai OSC.
Keputusan itu dianggap sepihak dan tidak adil karena tidak didasari dengan alasan yang jelas, selain itu pihak N7W tidak mencabut maupun membatalkan perjanjian Standard Participating Agreement yang merupakan satu-satunya dokumen resmi yang telah ditandatangani bersama pada awal kampanye yang menyatakan Kemenbudpar adalah OSC dari TNK pada kampanye N7WN.
Kemenbudpar kemudian menunjuk pengacara Todung Mulya Lubis untuk menghadapi persoalan itu. Todung berpendapat, Kemenbudpar tidak pernah melakukan "wan-prestasi" dalam Standard Participating Agreement yang telah disepakati.
"Kami sudah kirimkan surat somasi yang dijawab oleh 'legal consult' mereka di London. Kami balas surat itu dan hingga hari ini tidak ada tanggapan dari mereka," katanya. Ia menambahkan tindakan yayasan N7W menghapus Kemenbudpar sebagai OSC melanggar prinsip hukum universal. "Tidak ada perjanjian yang dibatalkan secara sepihak karena tidak ada pelanggaran yang terjadi di sini," katanya.
Kemenbudpar menemukan beberapa fakta tentang yayasan N7W yang sangat berorientasi komersil, meski menyatakan diri sebagai yayasan nirlaba. Selain itu pelaksanaan kampanye N7WN tidak konsisten dan transparan.
Sebagai sebuah organisasi internasional, pihaknya menilai yayasan itu sangat ganjil ketika ditemukan fakta bahwa yayasan N7W tidak memiliki domisili/kantor yang jelas dan dikelola oleh hanya segelintir orang (kemungkinan hanya merupakan virtual office) namun hendak berurusan dengan transaksi jutaan dolar AS.
"Masyarakat dunia akan tetap mengakui Komodo sebagai 'the one and only real dragon in the world' dan fakta ini tidak akan dapat tergantikan. Untuk itu kami tetap berkomitmen untuk mengembangkan dan mempromosikan TNK sebagai kawasan konservasi dan destinasi pariwisata internasional di Indonesia. Melalui branding 'Komodo the Real Wonder of the World', kita akan promosikan TNK ke seluruh dunia," kata Wacik.
Namun pihaknya yang telah berperan sebagai "lead agency" untuk TNK pada kampanye N7WN tidak melanjutkan kampanye bersama dengan yayasan N7W.
Pada 2007 ketika awal program kampanye dilakukan, jumlah wisman yang berkunjung baru sebanyak 16.000 orang, pada 2008 dan 2009 meningkat menjadi masing-masing 21.000 dan 36.000 wisman. Sedangkan pada 2010 jumlah itu melonjak menjadi 45.000 wisman.
"Keputusan ini diambil karena pihak penyelenggara kampanye New 7 Wonders (N7W) Foundation telah melakukan tindakan tidak profesional, tidak konsisten, dan tidak transparan, serta tidak memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, di Jakarta.
Meski mengundurkan diri dari kampanye pemilihan tujuh keajaiban alam baru bersi yayasan New 7 Wonders, namun TNK menurut Jero Wacik tetap merupakan "world heritage" atau warisan dunia yang diakui Unesco pada 1991.
Pada Agustus 2008, Kemenbudpar menjadi Official Supporting Committee (OSC)/Lead Agency untuk mendukung TNK sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam baru yang pemilihannya dilakukan melalui "online voting".
Kemenbudpar telah melakukan serangkaian kegiatan kampanye "online" dan "offline" baik di dalam maupun di luar negeri untuk mempromosikan dan mendukung TNK, dan telah membuahkan hasil pada 21 Juli 2009, saat TNK terpilih sebagai salah satu dari 28 finalis kampanye N7WN setelah menyisihkan 440 nominasi dari 220 negara.
Dalam perjalanannya muncul polemik, yayasan N7W pada awal Desember 2010 menyatakan setuju Indonesia dalam hal ini Jakarta sebagai Tuan Rumah Penyelenggaraan (Official Host) deklarasi 7 keajaiban dunia alam.
Namun syaratnya, Pemerintah Indonesia membayar "license fee" sebagai tuan rumah penyelenggaraan deklarasi sebesar 10 juta dolar AS, serta menyiapkan 35 juta dolar AS sebagai biaya penyelenggaraan acara deklarasi.
Padahal Kemenbudpar baru sekadar menyatakan minat untuk menjadi tuan rumah namun sama sekali belum menandatangani persetujuan apapun maupun mendaftarkan proposal "bidding" resmi seperti yang disyaratkan yayasan N7W pada dokumen New7Wonders Official Host Worldwide Bidding Tender.
Permintaan itu kemudian ditolak oleh Kemenbudpar karena dinilai tidak realistis. Namun sebagai reaksi penolakan itu, yayasan N7W pada akhir Desember 2010 mengancam akan mengeliminasi TNK sebagai finalis N7W.
Menurut Jero Wacik, kedua hal tersebut sangat tidak berhubungan karena keberadaan TNK sebagai finalis kampanye N7WN dan penawaran yayasan N7W untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan merupakan dua hal yang berbeda, dan seharusnya tidak memiliki keterkaitan sama sekali.
Pada 7 Februari 2011, yayasan N7W memutuskan untuk tetap mempertahankan TNK sebagai finalis namun melakukan tindakan penghapusan peran Kemenbudpar sebagai OSC.
Keputusan itu dianggap sepihak dan tidak adil karena tidak didasari dengan alasan yang jelas, selain itu pihak N7W tidak mencabut maupun membatalkan perjanjian Standard Participating Agreement yang merupakan satu-satunya dokumen resmi yang telah ditandatangani bersama pada awal kampanye yang menyatakan Kemenbudpar adalah OSC dari TNK pada kampanye N7WN.
Kemenbudpar kemudian menunjuk pengacara Todung Mulya Lubis untuk menghadapi persoalan itu. Todung berpendapat, Kemenbudpar tidak pernah melakukan "wan-prestasi" dalam Standard Participating Agreement yang telah disepakati.
"Kami sudah kirimkan surat somasi yang dijawab oleh 'legal consult' mereka di London. Kami balas surat itu dan hingga hari ini tidak ada tanggapan dari mereka," katanya. Ia menambahkan tindakan yayasan N7W menghapus Kemenbudpar sebagai OSC melanggar prinsip hukum universal. "Tidak ada perjanjian yang dibatalkan secara sepihak karena tidak ada pelanggaran yang terjadi di sini," katanya.
Kemenbudpar menemukan beberapa fakta tentang yayasan N7W yang sangat berorientasi komersil, meski menyatakan diri sebagai yayasan nirlaba. Selain itu pelaksanaan kampanye N7WN tidak konsisten dan transparan.
Sebagai sebuah organisasi internasional, pihaknya menilai yayasan itu sangat ganjil ketika ditemukan fakta bahwa yayasan N7W tidak memiliki domisili/kantor yang jelas dan dikelola oleh hanya segelintir orang (kemungkinan hanya merupakan virtual office) namun hendak berurusan dengan transaksi jutaan dolar AS.
"Masyarakat dunia akan tetap mengakui Komodo sebagai 'the one and only real dragon in the world' dan fakta ini tidak akan dapat tergantikan. Untuk itu kami tetap berkomitmen untuk mengembangkan dan mempromosikan TNK sebagai kawasan konservasi dan destinasi pariwisata internasional di Indonesia. Melalui branding 'Komodo the Real Wonder of the World', kita akan promosikan TNK ke seluruh dunia," kata Wacik.
Namun pihaknya yang telah berperan sebagai "lead agency" untuk TNK pada kampanye N7WN tidak melanjutkan kampanye bersama dengan yayasan N7W.
Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar menyatakan TNK sebagai finalis N7W selama tiga tahun telah gencar dipromosikan ke mancanegara. "TNK telah dikenal masyarakat dunia dan kunjungan ke destinasi itu juga meningkat pesat," kata Sapta.
Pada 2007 ketika awal program kampanye dilakukan, jumlah wisman yang berkunjung baru sebanyak 16.000 orang, pada 2008 dan 2009 meningkat menjadi masing-masing 21.000 dan 36.000 wisman. Sedangkan pada 2010 jumlah itu melonjak menjadi 45.000 wisman.