Nasib inilah yang dialami seorang pekerja seks di Semarang yang meninggal beberapa bulan yang lalu. Gara-gara dicurigai mengidap Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), sekelompok orang mendesak agar kuburannya dibongkar untuk diperiksa lagi.
Kecurigaan kelompok tersebut didasarkan pada kondisi sang pekerja seks yang kurus kering, lalu sering batuk-batuk dalam beberapa bulan terakhirnya sebelum meninggal. Gejala ini mirip seperti yang dialami oleh kebanyakan pengidap AIDS yang lain.
"Padahal AIDS itu kan gejalanya sama seperti penyakit lain, misalnya TBC. Kebanyakan, AIDS itu munculnya memang TBC, jadinya batuk-batuk lalu badannya kurus," ungkap anggota Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah, Dra Tjondrorini, MKes dalam perbincangan dengan detikHealth di Hotel Santika, Senin malam (14/11/2011).
AIDS sendiri sebenarnya merupakan kumpulan beberapa gejala penyakit yang muncul bersamaan, akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh usai terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sedangkan TBC adalah infeksi penyerta yang paling banyak membunuh para pengidap AIDS di seluruh dunia.
Namun yang terpenting menurut Bu Rini, panggilan akrab Tjondrorini, yang terpenting bukan soal apa penyakit sebenarnya yang diderita si pekerja seks. Pemahaman yang benar soal AIDS perlu disosialisasikan agar tidak ada stigma negatif yang membuat para pengidapnya makin menderita secara sosial.
"Banyak orang masih memiliki pandangan negatif terhadap para pengidap AIDS. Misalnya dengan mengatakan 'Itu kan karena kelakuannya sendiri, biarkan saja menderita.' Padahal kan tidak boleh seperti itu, yang namanya sakit ya harus ditolong," papar Bu Rini.
Kuburan si pekerja seks sendiri pada akhirnya memang tidak jadi dibongkar. Melalui pendekatan kekeluargaan, KPA Jawa Tengah dan komunitas-komunitas terkait berhasil meredam emosi kelompok-kelompok yang semula bersikeras ingin membongkar kuburan tersebut.
Benar atau tidaknya dugaan bahwa pekerja seks tersebut mengidap AIDS juga tidak pernah bisa dibuktikan, sebab semasa hidupnya tidak pernah dilakukan pemeriksaan. Demikian juga setelah meninggal, keluarga tidak melakukan otopsi terhadap jenazah sebelum dikuburkan.
Demi melindungi privasi keluarga dari tekanan sosial, Bu Rini meminta agar identitas dan lokasi kuburan sang pekerja seks dirahasiakan.