Jenazah KH Abdullah Mu'min di Jalan Garuda Pintu Air, RT 03/02 Kelurahan Jurumudi Baru, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, masih utuh meski sudah terkuburselama 26 tahun. Warga pun mengidentikkannya dengan kekuatan mistik tertentu.
Ahmad Fathi, putra kelima almarhum KH Abdullah Mu'min mengatakan, sejak banyak orang mengetahui kejadian itu, kini makam Abdullah yang sudah dipindah, kerap dikunjungi para peziarah. Mereka datang dari wilayah Tangerang, Bogor, Jakarta, bahkan ada yang datang dari luar Pulau Jawa seperti Padang.
Menurutnya, rata-rata para peziarah memiliki persepsi sendiri. Ada yang mengatakan jasad ayah saya wangi dan harum. Biasanya yang mengatakan itu adalah para guru atau ulama juga. Ada pula yang ingin membangun makam Kiai Abdullah yang dikubur berdampingan dengan istri keduanya, Masnawi dan anak kelimanya.
"Ada warga Padang yang datang bahkan menawarkan kepada kami agar makam ayah saya dibangun lebih baik dan biaya pembangunan akan ditanggung mereka. Namun tawaran itu kami tolak dengan berbagai alasan. Kami hanya ingin makam ayah seperti apa adanya yang mencirikan kesederhanaan dirinya," jelas Ahmad.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh M Ikbal, cucu Kiai Abdullah. Dia mengatakan, pihak keluarga selalu menjaga makam Abdullah karena takut ada hal yang tidak diinginkan.
Bahkan para peziarah yang datang, ditanya kepentingannya. Pasalnya lanjut Ikbal, dia tidak ingin makam ayahnya itu dijadikan tempat kramat yang berujung kepada kemusyrikan sehingga menyesatkan.
"Kami akan merasa senang, jika peziarah yang datang mendoakan Kiai Abdullah dan bukan karena niat dan tujuan lain," ucapnya.
Persiapkan Pencucian Tulang
Tiga bak berisi air dan potongan kayu ukuran 70 cm x 30 cm telah disiapkan anak-anak almarhum KH. Abdullah. Saat itu, Minggu 2 Agustus 2009, makam Kiai Abdullah akan dipindahkan lantaran di lokasi itu terkena proyek pelebaran Jalan Benda, Batu Ceper, Tangerang, yang mengarah ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Air yang ada di dalam bak itu rencananya akan digunakan untuk mencuci tulang belulang sebelum dipindahkan ke lokasi pemakaman yang baru. Sementara potongan kayu sengon sebanyak 9 potong diperuntukkan sebagai dinding pembatas jenazah di dalam liang lahat.
“Saya sudah beberapa kali melihat proses pemindahan kuburan di Karet Bivak, Jakarta Pusat. Persiapannya memang seperti itu,” kata Achmad Fathi, anak ketiga Kiai Abdullah.
Namun semua perlengkapan itu akhirnya tidak terpakai. Soalnya, ketika makam yang berusia 26 tahun digali, pemandangan aneh terjadi. Jasad Kiai Abdullah ternyata masih utuh. Begitu juga dengan kain kafan dan kayu penutup jenazah. Tidak ada tanda-tanda bekas gigitan rayap atau binatang tanah di kafan maupun di kayu kamper tersebut.
Sementara Mukhtar Ali, anak sulung Kiai Abdullah, yang mengangkat jenazah ayahnya dari liang lahat mengaku sempat kaget. Soalnya kondisi jenazah hampir sama seperti saat dikuburkan, 22 Oktober 1983 silam. “Kondisi jenazah persis sama seperti saat dikubur dulu.
Hanya tubuhnya agak menyusut saja, dan rambutnya memutih” jelas Mukhtar.
Mukhtar dan keluarganya semakin kaget, jenazah juga beraroma harum yang menyerbak. Wanginya, kata Mukhtar, tidak seperti parfum-parfum yang ada di toko-toko minyak wangi. Teriakan takbir pun langsung terdengar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
Yang juga dirasa aneh oleh keluarga, ribuan warga tiba-tiba berdatangan mengikuti prosesi pemindahan jenazah. Padahal keluarga tidak memberi pemberitahuan kepada warga maupun murid-murid Kiai Abdullah. Mereka tiba-tiba saja datang.
“Awalnya pemindahan jenazah itu hanya dilakukan keluarga. Paling hanya 20 orang. Tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba saat jenazah digali orang-orang sudah banyak berkumpul,” ujar Mukhtar.
Saking banyaknya orang yang datang, imbuh Mukhtar, mobil dan motor pelayat yang terparkir di sisi jalan Benda, panjangnya mencapai 5 kilometer sehingga membuat kemacetan yang luar biasa di jalan tersebut.
Beberapa warga yang ditemui detikcom menuturkan, sebelum proses pemindahan jenazah, sebenarnya tanda-tanda keanehan sudah muncul terkait rencana pemindahan makam tersebut. Sebab saat alat berat ingin menghancurkan musala dan bangunan makam, tidak bisa berfungsi. Beberapa kali alat pengeruk dari mobil beko patah ujung kukunya.
Karena kejadian itu, pihak kontraktor pelebaran jalan menunda pembongkaran yang rencananya akan dilakukan pada Januari 2009 itu. Pembongkaran baru bisa dilanjutkan awal Agustus setelah ada kesepakatan dengan keluarga. Salah satunya soal cara pembongkaran musala dan makam itu, yakni dengan hanya menggunakan palu dan linggis. Bukan pakai alat berat.
Keluarga Kiai Abdullah sebenarnya menyayangkan kalau musala itu dibongkar. Sebab musala yang telah ada sejak puluhan tahun lalu itu sangat dibutuhkan warga setempat untuk beribadah.
Musala yang berdiri di atas tanah wakaf itu sejak dibangun Kiai Abdullah tahun 1950-an sudah mengalami beberapa pemugaran dan pelebaran. Hingga menjadi semakin luas dan bangunannya menjadi permanen.
Namun pada 2007, Pemkot Tangerang ternyata punya rencana melakukan pelebaran jalan Benda, Juru Mudi, Batu Ceper, yang berada di sepanjang Sungai Cianjane. Musala dan makam itu kebetulan berada di lokasi yang akan dijadikan akses jalan sehingga terpaksa harus digusur.
Tanah yang akan digusur dihargai Rp 500 ribu per meter. Harga itu belum termasuk bangunan yang akan dibongkar. Tapi keluarga Kiai Abdullah menolak pemberian uang pengganti. Pasalnya, tanah tempat musala dan makam itu merupakan tanah wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan.