“Kami pasangan minat swinger ato threesome, asal bersih dan enjoy sex for fun. Kami dari Cirebon, tidak komersil, kami M 36 tahun F 35 tahun mencari yang seumuran atau kurang dan bagi yang serius hub. 085318384xxx”
“Kami pasutri keluarga sederhana M44 F40, istri ibu rumah tangga biasa. Sudah 4 kali melakukan 3some dan swinger dengan partner yang sama, pengen juga sih merasakan dengan partner yang lain tapi istri saya kelihatannya udah gak mau lagi, tapi dulu juga begitu ketika dibujuk mau juga malah menikmati betul. Memet 081285827xxx”
Itulah 2 contoh iklan dari ribuan iklan yang mengajak swinger atau threesome. Mungkin kalau threesome sudah tidak terlalu asing ditelinga, tapi kalau swinger itu yang mungkin terdengar aneh. Secara definitif, swinger adalah melakukan hubungan seks antara pria dan wanita secara bersamaan dengan beberapa pasangan, kemudian saling menukar pasangan atau partner seksnya dalam group itu. Singkatnya, swinger itu aktivitas seks dengan cara bertukar pasangan (suami/istri).
Swinger cenderung dilakukan oleh pasangan suami istri atau pasangan kekasih yang ingin merasakan sensasi berbeda dari sebuah perilaku seks. Jangan membayangkan para pelaku swinger yang memasuki kepala 3 atau 4, kini pergesaran swinger sudah merambah ke yang kepala 2, karena dianggap lebih kuat, lebih “liar” dan lebih menggoda serta lebih open minded. Satu hal yang harus digaris bawahi, pelaku swinger ini bukanlah para PSK ataupun gigolo, karena mereka sangat hati-hati dalam “bermain”.
Bicara sejarah, swinger memang bukan fenomena baru. Sejak berabad lalu berbagai literatur telah menggambarkan perilaku saling bertukar pasangan seksual ini. Bahkan di Eropa, sedikitnya tercatat seribuan klub yang aktif. Di Jakarta sendiri, para swinger ini saling bertemu di sebuah kafe atau klub malam, bila cocok maka tinggal mencari kamar di hotel.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai swinger ini, saya mencoba menghubungi sebuah no handphone yang saya dapat dari sebuah iklan.
Indra, sebuat saja begitu, pria 39 tahun ini mengaku baru pertama kali melakukan swinger. Istrinya sendiri berusia 38 tahun, dan memiliki 3 orang anak. Diakui Indra, awal dirinya mengetahui swinger dari sekedar iseng browsing dunia maya dan mendengar dari mulut temannya. Menemukan sebuah forum bagi pecinta swinger, akhirnya dia mulai ikut-ikutan promosi. Keinginannya buat swinger pun bukan keinginan sepihak, tapi juga mendapat restu dari sang istri. Tak tanggung-tanggung dirinya mengizinkan bila nantinya dia melakukan aktivitas seks dengan istri partnernya ataupun bila sang istri dipake oleh suami sang partner. Dia juga tidak menampik bahwa dirinya lebih suka bermain “keroyokan”. Tidak hanya itu, dia dan istrinya mau swinger atau threesome dengan orang lain hanya untuk mendapatkan SENSASI BERBEDA DALAM MELAKUKAN AKTIVITAS SEKS. Saya pun coba bertanya, apa dia mau threesome dengan saya? Terdengar santai, dia pun langsung mengiyakan. Bahkan dirinya akan semakin bergairah bila melihat istrinya “digoyang” pria lain. Masalah tempat tidak perlu dipertanyakan, bila cocok langsung tinggal booking sebuah kamar. Untuk pembicaraan selanjutnya, tidak perlu saya beberkan karena sudah mengarah ke pembicaraan yang lebih intim, maaf.
Dengan melihat rasa santai dari Indra dalam berkomuniksi dengan saya, sepertinya dia sudah paham betul dengan apa yang akan dia lakukan. Sensasi berbeda adalah sesuatu yang ingin dirasakan para swinger agar mendapat kepuasaan tersendiri. Bukan cuma di ibukota, swinger juga sudah merambah ke semua kota-kota besar di Indonesia. Swinger juga belum dapat dikatakan sebagai gaya hidup karena belum ada penelitian yang memberikan data valid. Namun yang pasti, rata-rata pelaku swinger adalah para pasangan yang memiliki hidup mapan akibatnya swinger terlihat seperti kebutuhan tersendiri dalam mencari kepuasan “ranjang”.
Disatu sisi, swinger jelas menggambarkan melorotnya moral dan batas-batas norma dalan kehidupan masyarakat. Sementara di sisi lainnya, swinger juga menjadi sebuah trend urban yang dilakoni oleh sebagian kecil masyarakat perkotaan. Meski masyarakat semakin acuh dan hidup egosentris, namun bukan berarti perilaku yang bebas seperti swinger dapat dibenarkan. Perilaku hedonis memang cenderung merugikan dan kerap membawa pada degradasi moral generasi pelakunya.
Kini tentunya semua kembali kepada diri kita, mengagungkan ego dan kepuasan sesaat ataukah kembali pada nilai-nilai “usang” yang mungkin terdengar kolot, karena kita tahu konsekuensinya serta kemana muaranya.