Pulau-pulau kecil, bak mutiara, menjalin Indonesia menjadi negara kepulauan nan indah. Pulau Kanawa di Kepulauan Komodo, Nusatenggara Timur, salah satu dari mutiara itu. Birunya laut yang jernih, indahnya terumbu karang, dan kesunyian yang menenangkan bisa dinikmati dengan biaya relatif murah.
Nama Pulau Kanawa pertama kali saya ketahui saat berada di ruang bagasi Bandara Komodo, Labuanbajo. Flores, Nusatenggara Timur. Beberapa poster yang mempromosikan penginapan di Labuanbajo dan sekitarnya tertempel di tembok. Saya agak bingung untuk memilih, berhubung ini kunjungan pertama di Labuanbajo.
Saat pintu keluar dibuka, serombongan laki-laki langsung masuk berhamburan. Mereka berebut menawarkan prospektus hotel. Hans, salah satu di antaranya, yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, dengan antusias menawarkan Kanawa.
"Hanya Rp 50.000,- per malam termasuk makan pagi, ongkos antar-jemput di Labuanbajo, dan sewa alat snorkel. Hanya 40 menit dari Labuanbajo dengan kapal. Anda tidak akan kecewa, tempat ini benar-benar indah dan tenang," janji Hans meyakinkan.
Berbekal air mineral
Terpukau dengan promosi Hans, saya dan teman dari Jerman, memutuskan ke Kanawa. Hans mengantar kami dengan mobil ke Labuanbajo, sekitar 20 menit dari bandara. Gratis.
Terpukau dengan promosi Hans, saya dan teman dari Jerman, memutuskan ke Kanawa. Hans mengantar kami dengan mobil ke Labuanbajo, sekitar 20 menit dari bandara. Gratis.
Setiba di rumah makan di Labuanbajo, hujan deras turun. Sambil menunggu hujan reda, kami menikmati masakan ikan barakuda. Sayangnya, hujan baru berhenti pukul 14.00 lewat. Akibatnya, kami tertinggal kapal jemputan ke Kanawa yang biasa menjemput tamu pukul 12.00. Cara satu-satunya, menyewa sendiri kapal ke Kanawa dengan biaya Rp 60.000,-.
Kami berbekal air mineral botol cukup banyak, karena di Kanawa air minum mahal. Kapal bergerak meninggalkan Labuanbajo, kota nelayan di barat Flores. Perjalanan melalui laut sehabis hujan menyenangkan. Awan menyisih memberikan jalan bagi sinar matahari. Langit kelabu membuat pantulan air laut tidak menyilaukan mata. Pemandangan sekitar tampak jelas, menunjukkan betapa banyaknya gugus pulau di Kepulauan Komodo. Pulau-pulau kecil tandus itu berbentuk kerucut.
Setelah satu jam berayun-ayun di perairan Kepulauan Komodo, Kanawa mulai tampak di kejauhan. Bukitnya ditumbuhi perdu, rumah panggung kayunya berjajar rapi, demikian pula pohon-pohon rindang yang berbaris teratur. Di bawah lautnya yang jernih dan beralas terumbu karang kami mengintip ikan-ikan berkejaran.
"Stop!" sang kapten berteriak mengagetkan. Rupanya lambung kapal hampir mengenai terumbu karang. Memang, Pulau Kanawa dikeliling hamparan terumbu karang. Saat laut surut, tidak ada kapal dapat merapat di pantainya. Menjelang Pulau Kanawa, sekoci kecil datang menjemput. Sedangkan kapal kami, kembali berlayar ke Labuanbajo.
Kamar mandi tak beratap
Jalan menuju setiap bungalo dibatasi dengan barisan apik cangkang karang bercat putih. Pepohonan rindang meneduhi hamparan pasir putih. Satu-dua di antara batang pohon dipasang hammock untuk bermalas-malasan.
Bungalo itu berupa rumah panggung beralas papan. Hanya ada satu ruang untuk tidur seluas kurang lebih 4 x 4 m berdinding gedek dan beratap genting. Di dalam kamar disediakan sebuah dipan yang dilengkapi kelambu. Sebuah lampu pijar menempel di tembok dekat jendela yang menghadap pantai. Di balkon ada dua kursi yang catnya agak kusam, sebuah meja, serta tali jemuran. Sederhana tapi memadai untuk beristirahat. Terasa tenang, apalagi hanya tiga meter di depan balkon terhampar pantai pasir putih dengan laut biru sebening kaca.
Kamar mandi dan WC terletak di luar, di samping bangunan, sejajar dengan tanah dan tanpa atap. Namun, jangan takut diintip, karena kamar mandi dikelilingi tembok. Untuk mandi disediakan bak penampung air tawar yang dialirkan melalui keran, tapi untuk menyiram WC ada seember air laut. Tampak jelas imbauan menghemat air tawar terpampang di kamar mandi. Tidak heran, karena pengelola Kanawa harus membeli air tawar dari Labuanbajo untuk keperluan memasak dan mandi para tamu.
Menjelang senja, kami menunggu dengan penuh harap tergelincirnya matahari menuju peraduan malam. Sayangnya, awan mengalangi pandangan, memupus harapan itu.
Deru mesin genset mulai terdengar begitu malam datang. Genset memang satu-satunya sumber energi listrik di Kanawa. Untuk penerang, di Kanawa dipakai lampu petromaks yang akan sedikit menghangatkan setiap bungalo yang berpenghuni. Berbeda dengan Kanawa yang sepi kilauan lampu, di kejauhan pulau tetangga, P. Mesah, ramai dengan kelip pendar lampu.
Restoran menjadi tempat sosialisasi di malam hari. Beberapa turis asing asyik mengobrol, main kartu, ataupun minum-minum. Harga hidangan yang ditawarkan restoran bisa dibilang ekonomis. Mengingat sayuran dan bahan makanan harus dibeli di Labuanbajo, bahkan dipesan dari Bali. Seporsi cah kangkung Rp 10.000,- dan satu porsi kari ayam Rp 20.000,-.
Kegiatan malam berakhir, kala angin bertiup makin kencang. Sebagian besar tamu kembali ke penginapan masing-masing, menyisakan sunyi. Yang terdengar, tinggal gemerisik daun-daun diterpa angin.
Jalan menuju setiap bungalo dibatasi dengan barisan apik cangkang karang bercat putih. Pepohonan rindang meneduhi hamparan pasir putih. Satu-dua di antara batang pohon dipasang hammock untuk bermalas-malasan.
Bungalo itu berupa rumah panggung beralas papan. Hanya ada satu ruang untuk tidur seluas kurang lebih 4 x 4 m berdinding gedek dan beratap genting. Di dalam kamar disediakan sebuah dipan yang dilengkapi kelambu. Sebuah lampu pijar menempel di tembok dekat jendela yang menghadap pantai. Di balkon ada dua kursi yang catnya agak kusam, sebuah meja, serta tali jemuran. Sederhana tapi memadai untuk beristirahat. Terasa tenang, apalagi hanya tiga meter di depan balkon terhampar pantai pasir putih dengan laut biru sebening kaca.
Kamar mandi dan WC terletak di luar, di samping bangunan, sejajar dengan tanah dan tanpa atap. Namun, jangan takut diintip, karena kamar mandi dikelilingi tembok. Untuk mandi disediakan bak penampung air tawar yang dialirkan melalui keran, tapi untuk menyiram WC ada seember air laut. Tampak jelas imbauan menghemat air tawar terpampang di kamar mandi. Tidak heran, karena pengelola Kanawa harus membeli air tawar dari Labuanbajo untuk keperluan memasak dan mandi para tamu.
Menjelang senja, kami menunggu dengan penuh harap tergelincirnya matahari menuju peraduan malam. Sayangnya, awan mengalangi pandangan, memupus harapan itu.
Deru mesin genset mulai terdengar begitu malam datang. Genset memang satu-satunya sumber energi listrik di Kanawa. Untuk penerang, di Kanawa dipakai lampu petromaks yang akan sedikit menghangatkan setiap bungalo yang berpenghuni. Berbeda dengan Kanawa yang sepi kilauan lampu, di kejauhan pulau tetangga, P. Mesah, ramai dengan kelip pendar lampu.
Restoran menjadi tempat sosialisasi di malam hari. Beberapa turis asing asyik mengobrol, main kartu, ataupun minum-minum. Harga hidangan yang ditawarkan restoran bisa dibilang ekonomis. Mengingat sayuran dan bahan makanan harus dibeli di Labuanbajo, bahkan dipesan dari Bali. Seporsi cah kangkung Rp 10.000,- dan satu porsi kari ayam Rp 20.000,-.
Kegiatan malam berakhir, kala angin bertiup makin kencang. Sebagian besar tamu kembali ke penginapan masing-masing, menyisakan sunyi. Yang terdengar, tinggal gemerisik daun-daun diterpa angin.
"Akuarium" raksasa
Pagi hari, pemandangan sebelum matahari keluar dari persembunyiannya sungguh mengagumkan. Langit gelap perlahan-lahan beralih kemerahan, menjadi jingga, dan akhirnya terang-benderang. Air pasang semalam meninggalkan tumbuhan makroalga yang menggeletak di sepanjang garis pantai. Petugas bungalo mulai menyapu membersihkan sisa-sisa tumbuhan itu, sambil menyapa para tamu yang baru bangun.
Hanya bagian selatan pulau ini yang dihuni. Bagian utara, yang dipisahkan dengan bukit, adalah pantai dengan terumbu karang yang lebih luas. Nama Kanawa sendiri adalah nama pohon. Entah mengapa, pulau ini disebut demikian.
Haji Idris, pemilik bungalo asal Labuanbajo, membangun resor di Kanawa kira-kira sembilan tahun lalu. Saat tidak ada tamu, penghuni pulau seluas sekitar 3 km2M itu hanya tujuh orang, yakni para petugas resor.
Pukul 09.00 sinar matahari sudah menyengat. Inilah saat terbaik untuk snorkeling sebelum matahari makin tinggi. Setelah sarapan pancake dan teh hangat di restoran, kami mengambil fin (sepatu katak) dan masker, siap ber-snorkeling.
Di tepi pantai dengan mata telanjang sekalipun tampak jelas dasar laut yang berpasir putih serta kawanan ikan-ikan kecil yang berenang bebas. Saat ber-snorkel, rasanya seperti masuk akuarium raksasa.
Pertama kali muncul bintang laut berduri. Makhluk berwarna merah-kuning dengan diameter 20 cm itu bertebaran kira-kira 3 m dari garis pantai. Makin menjauhi pantai, kurang lebih 20 m, terbentang hamparan luas gugus terumbu karang dengan ratusan jenis ikan. Anemon laut, karang Arcopora, kepiting kecil, kerang, dan udang kecil hidup aman tak terusik. Kawanan ikan terumbu karang dengan warna-warni cerah mencolok mata berenang kian-kemari. Sementara kawanan yang lain asyik menyantap alga yang tumbuh di terumbu karang. Bila jeli, terlihat pula ular laut loreng merah hitam menyelinap di antara bebatuan. Pemandangan di "akuarium" raksasa itu memang membetahkan.
Namun, jangan pula berlama-lama di air, mengingat matahari bersinar sangat ganas pada tengah hari. Buktinya, begitu muncul di permukaan, kulit terasa panas. Tak terasa satu jam lebih berlalu untuk menyaksikan keindahan terumbu karang.
Kalaupun tak berminat terjun ke laut, kegiatan lain yang pantang dilewatkan adalah melihat budidaya mutiara, penangkaran hiu, red snapper, dan ikan napoleon di "rumah" Ayung, pengelola bungalo. Ikan-ikan itu dipisahkan satu sama lain dengan jala. Hiu yang ditangkar adalah hiu yang masih muda. Nantinya ikan-ikan itu diekspor ke Hong Kong. Yang dimaksud dengan rumah di sini adalah bangunan panggung di lepas pantai Kanawa, kurang lebih 10 m dari pantai. Di sana, di tengah laut itu, Ayung tinggal bersama keluarganya.
Pagi hari, pemandangan sebelum matahari keluar dari persembunyiannya sungguh mengagumkan. Langit gelap perlahan-lahan beralih kemerahan, menjadi jingga, dan akhirnya terang-benderang. Air pasang semalam meninggalkan tumbuhan makroalga yang menggeletak di sepanjang garis pantai. Petugas bungalo mulai menyapu membersihkan sisa-sisa tumbuhan itu, sambil menyapa para tamu yang baru bangun.
Hanya bagian selatan pulau ini yang dihuni. Bagian utara, yang dipisahkan dengan bukit, adalah pantai dengan terumbu karang yang lebih luas. Nama Kanawa sendiri adalah nama pohon. Entah mengapa, pulau ini disebut demikian.
Haji Idris, pemilik bungalo asal Labuanbajo, membangun resor di Kanawa kira-kira sembilan tahun lalu. Saat tidak ada tamu, penghuni pulau seluas sekitar 3 km2M itu hanya tujuh orang, yakni para petugas resor.
Pukul 09.00 sinar matahari sudah menyengat. Inilah saat terbaik untuk snorkeling sebelum matahari makin tinggi. Setelah sarapan pancake dan teh hangat di restoran, kami mengambil fin (sepatu katak) dan masker, siap ber-snorkeling.
Di tepi pantai dengan mata telanjang sekalipun tampak jelas dasar laut yang berpasir putih serta kawanan ikan-ikan kecil yang berenang bebas. Saat ber-snorkel, rasanya seperti masuk akuarium raksasa.
Pertama kali muncul bintang laut berduri. Makhluk berwarna merah-kuning dengan diameter 20 cm itu bertebaran kira-kira 3 m dari garis pantai. Makin menjauhi pantai, kurang lebih 20 m, terbentang hamparan luas gugus terumbu karang dengan ratusan jenis ikan. Anemon laut, karang Arcopora, kepiting kecil, kerang, dan udang kecil hidup aman tak terusik. Kawanan ikan terumbu karang dengan warna-warni cerah mencolok mata berenang kian-kemari. Sementara kawanan yang lain asyik menyantap alga yang tumbuh di terumbu karang. Bila jeli, terlihat pula ular laut loreng merah hitam menyelinap di antara bebatuan. Pemandangan di "akuarium" raksasa itu memang membetahkan.
Namun, jangan pula berlama-lama di air, mengingat matahari bersinar sangat ganas pada tengah hari. Buktinya, begitu muncul di permukaan, kulit terasa panas. Tak terasa satu jam lebih berlalu untuk menyaksikan keindahan terumbu karang.
Kalaupun tak berminat terjun ke laut, kegiatan lain yang pantang dilewatkan adalah melihat budidaya mutiara, penangkaran hiu, red snapper, dan ikan napoleon di "rumah" Ayung, pengelola bungalo. Ikan-ikan itu dipisahkan satu sama lain dengan jala. Hiu yang ditangkar adalah hiu yang masih muda. Nantinya ikan-ikan itu diekspor ke Hong Kong. Yang dimaksud dengan rumah di sini adalah bangunan panggung di lepas pantai Kanawa, kurang lebih 10 m dari pantai. Di sana, di tengah laut itu, Ayung tinggal bersama keluarganya.
Berpetualang ala Robinson Crusoe
Bila bukan musim libur, menginap di Kanawa seperti menginap di pulau pribadi. Mau berenang, memancing, berjemur sepuasnya, atau bermalas-malasan seharian di bawah ayunan pohon, dijamin tidak akan ada yang mengganggu. Jangan harap hal itu terjadi di musim liburan, karena bungalo penuh tamu.
Letak Kanawa terasing dan jauh dari kebisingan. Hampir tidak ada perahu atau kapal melintasi Kanawa, kecuali kapal antar-jemput tamu. Yang lebih membuat terasing adalah sulitnya alat komunikasi. Radio panggil menjadi satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan Kanawa dengan dunia luar. Dapat dibayangkan sunyinya kehidupan di Kanawa.
Saking sunyinya, di siang hari hanya terdengar kicau burung yang bertengger di bawah pohon kersen ataupun sayup-sayup suara percakapan atau canda petugas bungalo.
Meski suasana sangat santai, damai, dan tenang, jangan dikira Kanawa hanya untuk bermalas-malasan. Dunia petualangan ala Robinson Crusoe siap menantang.
Menurut Ayung, beberapa waktu lalu sepasang turis asal Inggris ingin berkemah di balik bukit. Mereka pun mendaki untuk mencapai dataran di balik bukit dan bermalam di sana di bawah tenda. Esok paginya mereka berenang untuk kembali ke bungalo. Kedengarannya mengasyikkan.
Merasa tertantang, dengan panduan Karim, petugas resor, kami pun mendaki bukit kecil di balik penginapan. Meski tinggi bukit tidak lebih dari 200 m, jangan lupa membawa persediaan air minum karena terik surya cepat mengundang haus. Butuh sedikit perjuangan untuk mendaki bukit yang padat ditumbuhi alang-alang tajam. Tapi, begitu tiba di atas, kepenatan terlupakan. Pemandangan Kanawa dan kepulauan sekitarnya sangat spektakuler.
Tampak jelas perairan warna air laut beralih dari biru muda menjadi biru tua, serta peralihan dari perairan dangkal ke dalam. Dari tempat ini pun kita dapat menikmati matahari terbenam. Nun jauh, terlihat lekuk-lekuk pulau-pulau yang mulai gelap tersapu awan.
Bagi pencinta hidangan laut, Kanawa bagai surga. Dengan memesan sebelumnya, makan malam dengan hidangan seperti cumi-cumi, ikan kakap, red snapper, lobster, ataupun kerang hasil tangkapan siang hari dapat dinikmati dengan harga lumayan murah. Misalkan, 1 kilogram lobster yang sudah diolah harganya Rp 75.000,-.
Memungut bintang laut kala surut
Kami beruntung dapat menikmati bulan purnama di Kanawa. Menjelang sore, saat laut surut. Terbentang daratan dadakan, yang biasanya terendam air laut, sampai kira-kira 10 m dari garis pantai. Namun, lebih dari itu banyak karang tajam mengadang. Bintang laut dan kepiting kecil berserakan di sana-sini. Sementara kapal yang tadinya mengapung di air, kini tampak terpaku kaku di daratan.
Masih saat bulan purnama yang berlangsung tiga malam berturut-turut. Selepas magrib nun di kejauhan tampak barisan lampu berkelap-kelip. Rupanya nelayan penduduk P. Mesah, yang berjarak sekitar 30 menit dengan perahu motor dari Kanawa, tengah menjalankan ritual menangkap ikan. Ritual itu mereka lakukan setiap purnama tiba. Sebuah pemandangan mengasyikkan dari jauh.
Di malam hari langit terasa begitu dekat. Udara bersih membuat kerlip bintang selatan memancar terang. Sepanjang zaman tak kenal bosan debur ombak pelahan menampar bibir pantai. Di Kanawa, sang waktu memang terasa panjang. Malam menunggu siang, siang menunggu malam. Kanawa, memang tempat tepat mencari tenang.
Bila bukan musim libur, menginap di Kanawa seperti menginap di pulau pribadi. Mau berenang, memancing, berjemur sepuasnya, atau bermalas-malasan seharian di bawah ayunan pohon, dijamin tidak akan ada yang mengganggu. Jangan harap hal itu terjadi di musim liburan, karena bungalo penuh tamu.
Letak Kanawa terasing dan jauh dari kebisingan. Hampir tidak ada perahu atau kapal melintasi Kanawa, kecuali kapal antar-jemput tamu. Yang lebih membuat terasing adalah sulitnya alat komunikasi. Radio panggil menjadi satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan Kanawa dengan dunia luar. Dapat dibayangkan sunyinya kehidupan di Kanawa.
Saking sunyinya, di siang hari hanya terdengar kicau burung yang bertengger di bawah pohon kersen ataupun sayup-sayup suara percakapan atau canda petugas bungalo.
Meski suasana sangat santai, damai, dan tenang, jangan dikira Kanawa hanya untuk bermalas-malasan. Dunia petualangan ala Robinson Crusoe siap menantang.
Menurut Ayung, beberapa waktu lalu sepasang turis asal Inggris ingin berkemah di balik bukit. Mereka pun mendaki untuk mencapai dataran di balik bukit dan bermalam di sana di bawah tenda. Esok paginya mereka berenang untuk kembali ke bungalo. Kedengarannya mengasyikkan.
Merasa tertantang, dengan panduan Karim, petugas resor, kami pun mendaki bukit kecil di balik penginapan. Meski tinggi bukit tidak lebih dari 200 m, jangan lupa membawa persediaan air minum karena terik surya cepat mengundang haus. Butuh sedikit perjuangan untuk mendaki bukit yang padat ditumbuhi alang-alang tajam. Tapi, begitu tiba di atas, kepenatan terlupakan. Pemandangan Kanawa dan kepulauan sekitarnya sangat spektakuler.
Tampak jelas perairan warna air laut beralih dari biru muda menjadi biru tua, serta peralihan dari perairan dangkal ke dalam. Dari tempat ini pun kita dapat menikmati matahari terbenam. Nun jauh, terlihat lekuk-lekuk pulau-pulau yang mulai gelap tersapu awan.
Bagi pencinta hidangan laut, Kanawa bagai surga. Dengan memesan sebelumnya, makan malam dengan hidangan seperti cumi-cumi, ikan kakap, red snapper, lobster, ataupun kerang hasil tangkapan siang hari dapat dinikmati dengan harga lumayan murah. Misalkan, 1 kilogram lobster yang sudah diolah harganya Rp 75.000,-.
Memungut bintang laut kala surut
Kami beruntung dapat menikmati bulan purnama di Kanawa. Menjelang sore, saat laut surut. Terbentang daratan dadakan, yang biasanya terendam air laut, sampai kira-kira 10 m dari garis pantai. Namun, lebih dari itu banyak karang tajam mengadang. Bintang laut dan kepiting kecil berserakan di sana-sini. Sementara kapal yang tadinya mengapung di air, kini tampak terpaku kaku di daratan.
Masih saat bulan purnama yang berlangsung tiga malam berturut-turut. Selepas magrib nun di kejauhan tampak barisan lampu berkelap-kelip. Rupanya nelayan penduduk P. Mesah, yang berjarak sekitar 30 menit dengan perahu motor dari Kanawa, tengah menjalankan ritual menangkap ikan. Ritual itu mereka lakukan setiap purnama tiba. Sebuah pemandangan mengasyikkan dari jauh.
Di malam hari langit terasa begitu dekat. Udara bersih membuat kerlip bintang selatan memancar terang. Sepanjang zaman tak kenal bosan debur ombak pelahan menampar bibir pantai. Di Kanawa, sang waktu memang terasa panjang. Malam menunggu siang, siang menunggu malam. Kanawa, memang tempat tepat mencari tenang.