()
Sindonews - Aceh menjadi tuan rumah pelatihan international manajemen risiko bencana. Sebanyak 13 negara ikut ambil bagian dalam kegiatan di Museum Tsunami, Banda Aceh itu.
Panitia pelaksana kegiatan, Hendra Syahputra mengatakan, melalui International Workshop on Disaster Risk Management ini, para peserta dari berbagai negara berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai manajemen risiko bencana dan kesiapsiagaan bencana.
“Serta saling memperkenalkan kearifan lokal dalam menghadapi ancaman bencana alam,” katanya dalam keterangan pers di Banda Aceh, Sabtu (22/10/2011).
Acara dilaksanakan Direktorat Kerjasama Teknik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, bekerjasama dengan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan Colombo Plan, berlangsung pada 23 hingga 28 Oktober 2011.
Menurutnya, Indonesia dipilih sebagai tuan rumah karena posisi geografis negara ini berada pada rangkaian ring of fire, yang rentan terhadap bencana alam termasuk gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Pengalaman Indonesia dalam menangani dampak bencana seperti tsunami Aceh pada 2004, gempa bumi di Yogyakarta dan Sumatra Barat, tsunami di pPntai Selatan Jawa Barat, serta letusan Gunung Merapi di Yogjakarta pada 2010, menjadi patokan.
“Pengalaman dalam penanggulangan risiko bencana, dinilai serta telah mendorong upaya pengembangan sistem penanganan bencana yang lebih baik,” kata Hendra.
13 negara yang berpartisipasi adalah Afghanistan, Bhutan, Chile, Fiji, India, Laos, Maladewa, Myanmar, Pakistan, Samoa, Sri Lanka, dan Vietnam, dan Indonesia.
“Indonesia akan terus menunjukan upaya dan berkomitmen meningkatkan kerjasama internasional melalui berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani berbagai bentuk bencana alam, kepada sesama negara berkembang. Sehingga, dapat meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi bencana serta mempercepat upaya pemulihan pascabencana,” ujar Hendra.
Selain lokakarya kegiatan itu juga diisi dengan penanaman bakau di pantai Ulee Lheue, Banda Aceh.
Indonesia memang kerap dilanda bencana. Kepulauan Indonesia terbentuk dari titik-titik pertemuan lempeng bumi. Di bagian barat, lempeng Eurasia bertumbukan langsung dengan lempeng Indo-Australia, dan di bagian timur adalah pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Filipina, Pasifik dan Australia.
Letak geografis yang demikian ini, menjadikan negeri ini sarat dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, serta gunung berapi. Selain itu, kerentanan Indonesia pun diyakini semakin meningkat dengan perubahan iklim global dan laju jumlah penduduk beserta pluralitas yang ada. Betapa tingginya tingkat risiko yang dihadapi dengan karakter geografis, demografis, serta berbagai aspek lainnya.
Gunung berapi yang tersebar dari ujung tanah Sabang, Pulau Sumatera sampai daratan Meraoke di Papua, juga siap memuntahkan isi perutnya kapan saja. Indonesia boleh disebut pemegang rekornya. Ada 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi ini terletak di dasar laut. Kenyatan berada di dalam aktivitas lempeng dunia ini membuat Indonesia menjadi negara rawan gempa dan tsunami, karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif.
Data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) 2010 menyebutkan, dari total 354 daerah yang rawan bencana, wilayah berpotensi tsunami tingkat tinggi sebanyak 175, dan 179 daerah tingkat tsunami sedang. Sejak 1629 hingga 2010 atau dalam kurun 381 tahun, tsunami sudah terjadi sebanyak 171 kali di Indonesia. Dari peta daerah rawan bencana juga menunjukkan satu dari tiga desa di Indonesia masuk kategori rawan bencana. Dari 497 kabupaten/kota, 176 di antaranya rentan terhadap bencana banjir, 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya terancam kekeringan.
Indonesia juga menempati urutan ketiga sebagai negara rawan banjir. Urutan pertama dan kedua diduduki India dan China. Bencana banjir di Indonesia disebabkan beberapa faktor di antaranya kondisi curah hujan tinggi dan kondisi sebagian tanah tidak lagi mampu menyerap air dengan baik akibat proses perusakan hutan dan daerah aliran sungai. Data BNPB menunjukkan 84% kawasan Indonesia rawan bencana dan 80%-nya merupakan bencana ekologis.
Sedikit ke belakang, masih ingat dengan gempa Aceh 9,1 SR disusul tsunami yang menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara dan paling banyak di Indonesia. Bencana tidak hanya mengancam kelangsungan hidup, namun telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Belum lagi dampak kerugian lain, yakni pada sisi psikologis masyarakat serta sendi-sendi kehidupan lainnya, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Panitia pelaksana kegiatan, Hendra Syahputra mengatakan, melalui International Workshop on Disaster Risk Management ini, para peserta dari berbagai negara berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai manajemen risiko bencana dan kesiapsiagaan bencana.
“Serta saling memperkenalkan kearifan lokal dalam menghadapi ancaman bencana alam,” katanya dalam keterangan pers di Banda Aceh, Sabtu (22/10/2011).
Acara dilaksanakan Direktorat Kerjasama Teknik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, bekerjasama dengan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan Colombo Plan, berlangsung pada 23 hingga 28 Oktober 2011.
Menurutnya, Indonesia dipilih sebagai tuan rumah karena posisi geografis negara ini berada pada rangkaian ring of fire, yang rentan terhadap bencana alam termasuk gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Pengalaman Indonesia dalam menangani dampak bencana seperti tsunami Aceh pada 2004, gempa bumi di Yogyakarta dan Sumatra Barat, tsunami di pPntai Selatan Jawa Barat, serta letusan Gunung Merapi di Yogjakarta pada 2010, menjadi patokan.
“Pengalaman dalam penanggulangan risiko bencana, dinilai serta telah mendorong upaya pengembangan sistem penanganan bencana yang lebih baik,” kata Hendra.
13 negara yang berpartisipasi adalah Afghanistan, Bhutan, Chile, Fiji, India, Laos, Maladewa, Myanmar, Pakistan, Samoa, Sri Lanka, dan Vietnam, dan Indonesia.
“Indonesia akan terus menunjukan upaya dan berkomitmen meningkatkan kerjasama internasional melalui berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani berbagai bentuk bencana alam, kepada sesama negara berkembang. Sehingga, dapat meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi bencana serta mempercepat upaya pemulihan pascabencana,” ujar Hendra.
Selain lokakarya kegiatan itu juga diisi dengan penanaman bakau di pantai Ulee Lheue, Banda Aceh.
Indonesia memang kerap dilanda bencana. Kepulauan Indonesia terbentuk dari titik-titik pertemuan lempeng bumi. Di bagian barat, lempeng Eurasia bertumbukan langsung dengan lempeng Indo-Australia, dan di bagian timur adalah pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Filipina, Pasifik dan Australia.
Letak geografis yang demikian ini, menjadikan negeri ini sarat dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, serta gunung berapi. Selain itu, kerentanan Indonesia pun diyakini semakin meningkat dengan perubahan iklim global dan laju jumlah penduduk beserta pluralitas yang ada. Betapa tingginya tingkat risiko yang dihadapi dengan karakter geografis, demografis, serta berbagai aspek lainnya.
Gunung berapi yang tersebar dari ujung tanah Sabang, Pulau Sumatera sampai daratan Meraoke di Papua, juga siap memuntahkan isi perutnya kapan saja. Indonesia boleh disebut pemegang rekornya. Ada 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi ini terletak di dasar laut. Kenyatan berada di dalam aktivitas lempeng dunia ini membuat Indonesia menjadi negara rawan gempa dan tsunami, karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif.
Data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) 2010 menyebutkan, dari total 354 daerah yang rawan bencana, wilayah berpotensi tsunami tingkat tinggi sebanyak 175, dan 179 daerah tingkat tsunami sedang. Sejak 1629 hingga 2010 atau dalam kurun 381 tahun, tsunami sudah terjadi sebanyak 171 kali di Indonesia. Dari peta daerah rawan bencana juga menunjukkan satu dari tiga desa di Indonesia masuk kategori rawan bencana. Dari 497 kabupaten/kota, 176 di antaranya rentan terhadap bencana banjir, 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya terancam kekeringan.
Indonesia juga menempati urutan ketiga sebagai negara rawan banjir. Urutan pertama dan kedua diduduki India dan China. Bencana banjir di Indonesia disebabkan beberapa faktor di antaranya kondisi curah hujan tinggi dan kondisi sebagian tanah tidak lagi mampu menyerap air dengan baik akibat proses perusakan hutan dan daerah aliran sungai. Data BNPB menunjukkan 84% kawasan Indonesia rawan bencana dan 80%-nya merupakan bencana ekologis.
Sedikit ke belakang, masih ingat dengan gempa Aceh 9,1 SR disusul tsunami yang menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara dan paling banyak di Indonesia. Bencana tidak hanya mengancam kelangsungan hidup, namun telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Belum lagi dampak kerugian lain, yakni pada sisi psikologis masyarakat serta sendi-sendi kehidupan lainnya, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial.