Masih Saktikah Instruksi Presiden? (Belajar dari Inpres No.16 Tahun 2005)


AWAL pekan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengeluarkan instruksi presiden perihal penyelesaian kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Banyak pihak pesimis, apalagi dalam pelaksanaannya kemudian presiden memberikan tugas ke wakil presiden. Masih akan saktikah sebuah instruksi presiden?

Kalau dicermati, selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gejala tidak mempannya instruksi presiden memang terasa mengemuka. Sejumlah instruksi hanya sebatas kertas yang gagah namun lemah dalam implementasi. Kemungkinan hal ini bukan salah presiden, tapi lebih pada tataran eksekusi yang dilakukan para pembantu presiden.Tak heran kalau banyak masalah yang muncul kemudian berakhir hanya dengan keluarnya surat instruksi presiden, tapi tanpa penyelesaian yang tuntas. Atau ini dampak dari evaluasi yang tidak pernah dilakukan secara serius, karena begitu banyak permasalahan yang dihadapi pemerintah pada satu sisi dan lemahnya manajemen masalah yang dirancang di sisi yang lain; sehingga membuat setiap masalah yang muncul itu tak pernah terselesaikan?

Sebagai contoh, lihatlah bagaimana nasib Instruksi Presiden No16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, pada tanggal 29 Desember 2005.

Presiden RI mengeluarkan Inpres No 16 Tahun 2005 ini pada tanggal 29 Desember 2005. Berisi instruksi kepada 18 Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala Kepolisian Negara RI, Para Gubernur, Bupati dan Walikota, untuk melakukan upaya-upaya pengembangan kebudayaan dan kepariwisataan sesuai lingkup tugas dan fungsinya masing-masing.

Dilihat dari aspek historisnya, inpres ini sebenarnya tindak lanjut dari Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Kebudayaan dan Pariwisata di Istana Tampak Siring, Bali 26-27 Februari 2005, yang ketika itu dihadiri juga kalangan industri pariwisata Indonesia. Dalam pertemuan ini selain berhasil mengumpulkan berbagai kendala dalam pengembangan pariwisata Indonesia, juga telah berhasil melakukan target pencapaian masing-masing institusi ke dalam sebuah time-frame target untuk masing-masing institusi yang bisa dibagi ke dalam target 2005, 2005-2006, 2005-2007 dan 2005-2009. Time-frame semacam ini dapat dimengerti karena adanya kebutuhan akan prioritas, namun dengan mempertimbangkan juga kondisi realitas yang dihadapi masing-masing institusi.

Secara garis besar, Inpres No16 Tahun 2005 berisi tujuh instruksi dari Presiden untuk meningkatkan kualitas pelayanan atau kemudahan-kemudahan kepada wisatawan; Mengambil langkah mengoptimalkan akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata untuk sejahterakan rakyat, buka lapangan kerja, berantas kemiskinan dan pemerataan pembangunan; Proak melindungi, mengembangkan dan memanfaatkanSDA dan budaya untuk pembangunan kebudayaan dan pariwisata; Dan, menggunakan tema ‘Indonesia, Ultimate in Diversity” dalam setiap kegiatan promosi di luar negeri dan tema “Kenali Negerimu Cintai Negerimu Ayo Tamasya Jelajahi Nusantara” dalam kegiatan promosi di dalam negeri.

Inpres ini merupakan upaya optimal yang dilakukan pemerintah untuk menjawab tuntutan pentingnya keterpaduan pembangunan pariwisata dari sisi pemerintahan, sehingga dianggap sangat penting oleh kalangan industri yang selama ini banyak menghadapi kendala birokrasi dan adanya egoisme sektoral yang menekan perkembangan pariwisata Indonesia, setelah sekian lama yaitu hampir satu dekade mengalami kondisi terpuruk, khususnya pasca kerusuhan 1997-1999, serangan terorisme di Bali dan Jakarta tahun 2002-2005, isu penyakit 2003-2004 dan bencana alam tahun 2004-2006.

Disayangkan, berdasarkan penilaian time-frame terpendek (2005-2006), berbagai instruksi tersebut ternyata belum berjalan. Jika diteliti, ada setidaknya time-frame terpendek 2005 dan 2005-2006 itu ada sekitar 32 instruksi yang diberikan kepada 15 instansi pemerintahan, yang semuanya hampir tidak terlaksana di lapangan (Lihat tabel). Dan sekitar 77 instruksi lain dalam time-frame 2005-2009, dan itupun belum terlihat sama sekali tanda-tanda permulaan untuk pelaksanaannya.

Beberapa instruksi yang seharusnya selesai dikerjakan tahun 2005-2006, misalnya untuk Depdagri antara lain peninjauan kembali Perda pajak hiburan/tontonan. Menneg-BUMN yaitu peninjauan kembali regulasi pengelolaan objek kebudayaan, Mendorong perusahaan penerbangan nasional untuk menggunakan brand “Indonesia, Ultimate in Diversity”; Mendorong maskapai penerbangan nasional (Garuda dan Merpati) untuk mengingkatkan jalur penerbangan internasional dari sumber pasar wisatawan mancanegara ke kota-kota destinasi pariwisata di Indonesia.

Untuk Bank Indonesia, diistruksikan untuk menerapkan kebijakan berlaku atau diterimanya uang dolar dalam bentukdan seri apapun, Angkasa Pura/Pelindo, Adpel/Bandara meningkatkan sarana dan pelayanan berkaitan dengan kedatangan dan kepulangan wisatawan mancanegara.

Deplu (Kemenlu kini-Red) diinstruksikan antara lain memberikan kewenangan kepada KBRI di Singapura untuk dapat mengeluarkan Visa kunjungan ke Indonesia bagi wisatawan RRC yang sedang berkunjung ke Indonesia (yang dilanjutkan dengan skema one visa two countries), memberikan kemudahan bagi WN India dan Timteng mengadakan perjalanan wisata ke Indonesia, termasuk WN India dan Timteng yang bertempat tinggal di luar negaranya, membantu dan memanfaatkan brand “Indonesia, Ultimate in Diversity” beserta alat promosi pendukungnya untuk disebarluaskan di pasar utama wisatawan melalui perwakilan di luar negeri (KBRI dan KJRI), serta Ratifikasi Convention on Export Import Illicit Traffic of Cultural Properties and Convention on Protection of Under Water Archeology.

Untuk Depkumham (Kemenkumham-Red), diinstruksikan untuk mempertimbangkan kembali kebijakan visa on arrival yang berkaitan dengan jumlah negara dan perpanjangan lama tinggal, menempatkan pejabat dan petugas dalam pelayanan immigration on board, memberikan kewenangan kepada KBRI di Singapura untuk dapat mengeluarkan visa kunjungan ke Indonesia bagi wisatawan RRC yang sedang berkunjung di Singapura dan berencana melakukan kunjungan ke Indonesia, memberikan kemudahan bagi WN India dan Timteng untuk mengadakan perjalanan wisata ke Indonesia, termasuk bagi WN India dan Timteng yang bertempat tinggal di luar negaranya, regulasi pengurangan pajak (tax reduction) bagi donatur kegiatan kebudayaan, regulasi tentang perlindungan terhadap karya cipta budaya dan penegakan hukum pelanggaran di bidang kebudayaan.

Untuk Depkeu (Kemenkeu-Red) diinstruksikan untuk meninjau kembali regulasi tentang pajak hiburan/tontonan, bea masuk bahan baku/ peralatan industri budaya, bea masuk peralatan produksi film, pembebasan PBB warisan budaya dan PNBP dari warisan budaya, Memberikan dukungan dan persetujuan tertulis untuk proses lebih lanjut penetapan Peraturan Presiden tentang Ratifikasi ATA, pengurangan pajak (tax reduction) bagi donatur kegiatan kebudayaan, dan memproses perubahan UU yang berkaitan dengan tax refund dan mempersiapkan Peraturan Presiden tentang Pemberlakuan Tax Refund.

Masih banyak instruksi lainnya yang karena keterbatasan ruang tidak mungkin dijelaskan dalam tulisan ini. Namun, sekali lagi, kita masih belum melihat adanya tanda-tanda implementasi yang serius dilakukan oleh masing-masing pihak penerima instruksi.

Pada sisi lain, kita menyayangkan kurangnya sosialisasi Inpres ini kepada para stakeholders, dan juga publik sehingga dalam setahun ini, Inpres berlalu tanpa adanya mekanisme monitoring yang memadai untuk mendesak berbagai institusi pemerintahan tersebut dapat mentaati instruksi presiden tersebut.

Lemahnya implementasi juga mungkin disebabkan kurangnya petunjuk teknis yang lebih jelas yang bisa menjadi pegangan pelaksana, misalnya dalam kasus kampanye brand ”Indonesia, Ultimate in Diversity” dan ”Ayo Tamasya!”. Bentuknya bagaimana, space-nya dan durasinya, dipasang dimana saja. Untuk peserusahaan penerbangan misalnya, apakah dipasang di badan pesawat atau di tiket atau dimana. Apalagi ada faktor yang sedikit mengganggu di sebagian pihak yang menilai brand ini belum kuat, yang tidak secara agresif mampu mengundang ketertarikan wisatawan untuk berkunjung. Solusinya, menurut saya, selain brand ini perlu ada tema-tema tahunan yang dibuat untuk mendukung sebuah brand utama, seperti apa yang dilakukan juga oleh Thailand dan beberapa negara lain.

Terlepas dari itu, ada juga kemungkinan kendala yaitu sikap menunggu dari para pelaksana instruksi, misalnya terhadap anggaran, atau juga memang tidak memiliki keinginan untuk melaksanakan karena mungkin bertentangan dengan keinginan para stakeholder di lingkungan instansinya atau industri yang ada di bawah binaannya; tidak punya keinginan untuk mengubah karena menganggap akan mengganggu penerimaan daerah maupun dalam konteks bea masuk barang, tax refund dan lainnya. Di samping itu ada beberapa instruksi yang tanpa Inpres pun sebenarnya sudah jalan, sehingga barangkali dianggap bukan hal yang serius.

Bagaimanapun, implementasi Inpres ini tidak bisa dianggap sepele oleh instansi pelaksana, karena ini merupakan instruksi Presiden RI. Tapi bagi kalangan industri maupun masyarakat pariwisata, tidak dirasakan adanya manfaat nyata dari Inpres itu, karena memang para menteri yang menjadi pembantu presiden itu tidak memiliki niat untuk melaksanakannya. Inpres itu bahkan seperti angin lalu saja.Pada point ”Ketujuh” Inpres yang ditandatangani Presiden Yudhoyono pada 29 Desember 2005 itu dikatakan “ Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Presiden.”

Pertanyaan kita adalah lalu apa artinya sebuah Instruksi Presiden jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Mungkinkah karena tidak ada sanksi membuat para pembantu presiden itu tidak merasa perlu untuk menjalankannya? Atau karena dalam hal ini menteri teknis yakni Menbudpar juga tidak menganggap Instruksi Presiden itu sungguh-sungguh?

Kalau seperti ini kejadiannya, sebagus apapun inpresnya, tidak akan berguna bukan? Dan apesnya, nama Presiden lah yang dipertaruhkan. Tidakkah seharusnya Presiden berani untuk menindak para pembantunya itu?


Sumber : http://infopariwisata.wordpress.com/2011/01/19/masih-saktikah-instruksi-presiden-belajar-dari-inpres-no16-tahun-2005/

Arsip Blog