Afriani Susanti memang “komplit” apesnya. Mengemudikan Xenia di dalam kota Jakarta dengan kecepatan 100 km/jam, mengaku rem Xenia blong ternyata rem baik-baik saja, tak memiliki SIM dan STNK, hasil tes ditemukan positif usai mengkonsumsi narkoba jenis shabu, menabrak 12 orang tak bersalah dan menewaskan 9 diantaranya.
Afriani juga punya banyak alasan kenapa ia pantas dicaci maki. Malam sebelumnya ia berpesta miras di pesta ultah temannya, lalu pergi ke tempat hiburan di hotel Borobudur dan nyabu di sana. Tambahan pula diketemukan akun Twitter dan FB-nya dimana mengindikasikan Afriani adalah kelompok anak muda dari kalangan ekonomi mapan yang suka berpesta. Kerudung mirip jilbab yang dikenakannya asal-asalan, tak membantu menjaring simpati publik, apalagi ditemukan banyak foto dirinya yang justru terbiasa berpakaian seksi dan terbuka. Maka, lengkaplah sudah segala alasan yang men-sah-kan caci maki kepada Afriani.
Saya sendiri jengah ketika pertama kali melihat tayangannya di berita TV, si Neng ini tampak tenang bahkan masih sanggup jemarinya menari-nari di atas keypad HPnya, meski sambil berdiri dan diperhatikan banyak orang, khas sikap cuek dan tak peduli anak muda penggemar clubbing. Sementara di depannya mayat-mayat bergelimpangan dengan kondisi mengenaskan, sampai TV saja mem-blur-kan gambarnya. Suatu ketenangan luar biasa mengingat dirinya seorang perempuan. Mungkin hanya dimiliki oleh orang yang tak punya perasaan iba dan berdarah dingin. Tapi kalau dia dalam pengaruh narkoba yang “menenangkan”, perilakunya tentu masuk akal.
Tapi mencaci maki dan mem-bully Afriani di dunia maya saja apakah cukup? Pasti akan ada kelompok lain, teman-temannya, yang akan membela. Sementara, kalau Afriani dari keluarga kaya, dia akan sewa jasa pengacara handal. Apalagi Afriani sudah mengakui dirinya usai mengkonsumsi beberapa jenis narkoba. Pengacaranya akan mengesankan si Eneng ini “korban” narkoba yang perlu dirawat di panti rehabilitasi untuk disembuhkan, jadi tak perlu mendekam di penjara.
Semalam saya baca running text di TV, ancaman hukuman untuk penyebab kecelakaan lalin seperti ini : 6 tahun penjara plus denda Rp. 12 juta. Hanya beda tipis dengan ancaman hukuman untuk pelaku pencurian tanpa kekerasan dan tanpa korban apapun yang ditimpakan pada pencuri sandal jepit butut : 5 tahun penjara. Kasus kecelakaan maut yang pengemudinya tak memiliki SIM sebenarnya kerap terjadi. Dan sepertinya hukumannya memang tidak terlalu berat dan tak mampu membuat pengemudi lain yang tak ber-SIM jadi jera.
Indonesia mungkin Negara yang paling longgar terhadap pengemudi kendaraan bermotor tanpa SIM. Setiap hari, di sekitar komplek rumah saya saja, selalu saya temui anak-anak yang naik motor berboncengan dengan teman atau saudara sebayanya. Kalu melihat wajah dan postur tubuh, tampaknya mereka anak usia SD atau awal SMP. Saya pernah naik angkot, kebetulan penumpang lainnya siswa SMPmasih berseragam sekolah. Mereka saling membanggakan kemampuannya naik motor, kalau cuma bisa berboncengan 3 saja di remehkan, 4 orang baru “standard”. Padahal, motor didesain untuk 2 orang saja. Para ABG itu juga saling membanggakan kehebatannya ngebut dan melintasi medan yang sulit. Saya yakin, anak-anak ABG itu pasti belum punya SIM. Dari wajah dan posturnya yang masih kecil dan kekanakan, sulit merekayasa umur mereka sudah lewat 17 tahun.
Bukan hanya pengemudi anak-anak yang tak ber-SIM, sopir yang sehari-hari berprofesi mengemudikan truk-truk angkutan dan trailer berukuran panjang 20 – 40 feet pun banyak yang SIM-nya “nembak”. Saya pernah bekerja di perusahaan transportasi dan logistics. Dari sana saya tahu ada suatu Polda tertentu yang “spesialis” mengeluarkan SIM B-II Umum “tembakan”. Dan itu sudah terkenal di kalangan sopir dan kenek. Mungkin biayanya pun tak mahal-mahal amat, buktinya kenek saja mampu “nembak” SIM di sana.
Umumnya, mereka tinggal membuat identitas palsu, cukup memalsukan alamat dan tanggal serta tahun kelahiran. Tak tanggung-tanggung umur dituakan. Usia baru pertengahan 20-an tahun bisa disulap jadi 30-an tahun. Antara 5 – 10 tahun lebih tua dari aslinya. Mungkin juga tanpa prosedur tes ini itu. Padahal yang akan dikemudikan truk berukuran besar dan panjang, melalui medan yang bermacam-macam, melintasi jarak ratusan hingga ribuan kilometre. Kalau para sopir dan kenek saja tahu di mana bisa membuat SIM B-II Umum “nembak”, apalagi di kalangan polisi. Saya yakin mereka juga sudah sama-sama tahu.
Kecelakaan maut yang pengemudinya sopir umum seperti itu kasusnya lebih sering terjadi dan banyak di beritakan di TV. Hanya saja kasus Afriani memang lebih menyulut emosi masyarakat, karena sikap Afriani yang masih sempat twitteran dalam kondisi seperti itu, karena kebetulan dia dari kalangan kelas sosial atas dan yang ditabraknya masyarakat kebanyakan, dan karena publik bisa “menjangkau”nya lewat akun Twitter dan FB-nya. Sedangkan sopir umum seolah menjadi tak terlalu penting untuk dimaki, meski bisa jadi mereka juga ugal-ugalan di jalan, mabuk tuak atau miras oplosan, atau habis mampir warung remang-remang dan masih mengantuk. Intinya : siapapun pengemudi yang tidak mengindahkan norma keselamatan berlalu lintas, seharusnya dihukum seberat-beratnya. Tak peduli dia cewek sosialita yang suka dugem atau sopir nakal yang suka mabuk.
Masalahnya : tersediakah pasal yang cukup ampuh menjerat pelaku lalin yang seperti itu? Jika pasal yang mengatur kelalaian berlalu lintas hukumannya memang tidak terlalu berat, maka jangan salahkan hakim jika vonisnya lebih ringan dari tuntutan jaksa. Apalagi hakim memang tak boleh menjatuhkan hukuman lebih dari apa yang dituduhkan jaksa. Jadi, mau bagaimana lagi?
Khusus untuk Afriani, kalau saja saya bisa menyarankan, sebaiknya dia dijerat pasal berlapis-lapis untuk berbagai macam kesalahannya. Hanya saja saya tak tahu, jika seseorang dijerat pasal berlapis apakah hukuman yang dijatuhkan nantinya merupakan penjumlahan dari semua ancaman hukuman yang didakwakan. Kalau saya sering nonton film kriminal produksi Hollywood, sepertinya disana hal itu mungkin diterapkan. Jadi seorang pesakitan yang benar-benar berat kasusnya, bisa dijatuhi hukuman sampai berpuluh-puluh tahun yang tidak memungkinkannya bebas dalam waktu singkat. Pengampunan hukuman atas kasus yang satu, tak akan membebaskannya dari kasus lainnya.
Kalau di Indonesia hal semacam itu bisa diterapkan, Afriani akan harus menjalani hukuman karena mengemudi tanpa SIM, tak memiliki STNK, ngebut diluar batas kecepatan yang diijinkan dan dengan sengaja berkendara di bawah pengaruh narkoba. Kalau saja pembelanya meminta Afriani diijinkan menjalani rehabilitasi, maka sebaiknya ia dibantarkan saja, seperti Nunun Nurbaetie. Jadi masa penyembuhannya tidak dihitung sebagai pengurang hukuman. Dia baru akan menjalani hukumannya setelah selesai menjalani perawatan. Jadi kalau dia curang dengan berlama-lama tinggal di panti rehabilitasi yang jelas jauh lebih nyaman ketimbang penjara, maka akan makin lama pula waktu yang dihabiskan menunggu saat penahanan.
Semoga saja polisi bisa lebih tegas menghadapi pelanggar lalu lintas. Anak-anak di bawah umur yang banyak berkendara motor di jalanan, sebaiknya langsung saja di tangkap dan ditilang. Tak peduli mereka melanggar atau tidak. Sebab bisa jadi hari ini mereka baik-baik saja, tapi esok atau entah kapan berpotensi jadi penyebab kecelakaan. Dan tentu saja kalau pengendara tertangkap tangan, ya jangan diselesaikan dengan cara “damai” dijalanan, sebab itu tak akan menimbulkan efek jera, justru makin menjadikan anak-anak arogan, sebab mereka merasa bisa mengalahkan polisi hanya dengan selembar 50 ribuan.
Begitulah potret hokum di Indonesia, bukan hanya hukuman buat para koruptor yang perlu ditinjau ulang, hukuman pelanggar lalu lintas pun perlu direvisi tampaknya. Agar memberikan jaminan keamanan bagi sesama pemakai jalan dan memberikan pembelajaran bagi pengendara. Jangan sampai ada Afriani lain yang bisa dengan santai meski jadi algojo jalanan yang menewaskan 9 orang tak bersalah.
sumber :http://hukum.kompasiana.com/2012/01/23/hikmah-xenia-maut-di-tugu-tani-hukum-lalin-perlu-dipertegas/